Sidang dengan agenda pembacaan putusan terhadap perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) No. 49/Pid.Sus/2018/PN Semarang dengan terdakwa Direktur PT Sofia Sukses Sejati (PT SSS), Windi Hiqma Ardani, kembali ditunda. Migrant CARE mencatat penundaan putusan ini sudah terhitung untuk ke-tiga kalinya.
Penundaan pertama dilakukan pada tanggal 6 Juni 2018. Sidang putusan ditunda dengan alasan Ketua Majelis Hakim, Pudjiastuti Handayani, sedang berada di luar kota. Sehingga sidang terpaksa ditunda sampai tanggal 25 Juni 2018. Penundaan kedua dilakukan pada tanggal 25 Juni 2018. Saat itu pihak yang melakukan pendampingan dalam kasus ini (Migrant CARE, LBH Apik dan LRC-KJHAM) telah hadir untuk melakukan pemantauan terhadap agenda pembacaan putusan. Namun sayang, ternyata putusan kembali ditunda dengan alasan saudara dari hakim anggota, Suparno, meninggal dunia. Pembacaan putusan kemudian diagendakan ulang untuk diselenggarakan pada 28 Juni 2018.
Sementara penundaan yang ketiga dilakukan pada tanggal 28 Juni 2018. Padahal para saksi korban yang tinggal di wilayah Kendal sudah bersiap untuk melakukan pemantauan. Perjalanan mereka menuju Pengadilan Negeri (PN) Semarang terpaksa dibatalkan setelah mendapatkan informasi dari Jaksa PN Semarang, Yosi bahwa pembacaan putusan tidak jadi dilaksanakan pada hari ini (28/6/2018). Beliau mendapatkan informasi tersebut dari salah satu anggota hakim dengan alasan yang belum jelas. Sidang pembacaan putusan kemudian diagendakan ulang pada 5 Juli 2018. Penundaan tersebut menimbulkan tanda tanya, jangan sampai kepercayaan publik terhadap para hakim dan institusi peradilan menurun atau hilang.
Berdasarkan pengawalan proses persidangan, Migrant CARE mencatat :
- Pada 7 Februari 2018, dalam agenda pemberian keterangan saksi korban, hakim pernah bertanya kepada korban dengan nada keras dan kalimat yang menyudutkan korban. Sehingga korban yang masih dalam kondisi trauma dan sangat sensitif menangis. Hal tersebut menunjukan bahwa hakim tidak memiliki perspektif keadilan gender dan tidak melaksanakan terobosan hukum yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung yakni Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
- Terdakwa yang sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita, Bulu, Semarang, sekarang hanya menjadi tahanan kota terhitung sejak 6 Juni 2018, setelah permohonan perubahan status tahanan yang diajukan kuasa hukumnya dikabulkan. Sehingga terdakwa dapat dengan bebas beraktivitas tanpa hukuman penjara.
- Korban adalah perempuan-perempuan muda yang seharusnya aktif dan produktif. Mereka tentu punya keinginan untuk beraktivitas kembali tanpa harus terbebani dengan proses sidang yang tertunda-tunda dan memakan waktu lama. Pasal 4 dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
- Migrant CARE sangat menyesalkan penundaan putusan terhadap terdakwa Windi Hiqma Ardani, karena hal tersebut berdampak buruk pada psikologi korban. Selain itu, hal tersebut mengindikasikan ketidakseriusan hakim dalam menyelesaikan perkara TPPO. Migrant CARE menyerukan agar putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa adalah putusan yang memenuhi rasa keadilan bagi korban. Sebagaimana tuntutan Jaksa dari Kejagung yang menuntut terdakwa dengan Pasal 4 Jo 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, terdakwa dituntut dengan hukuman penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp 120.000.000. Jaksa juga menuntut terdakwa untuk membayar restitusi dengan total Rp 1.176.000.000 kepada keempat korban, subsider 2 bulan kurungan. Migrant CARE juga mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memberikan perhatian dan keseriusan terhadap kasus ini demi memenuhi keadilan korban.
Jakarta, 28 Juni 2018
Divisi Bantuan Hukum Migrant CARE