Menghayati UU PPMI

Oktober lalu membawa angin sejuk bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Pasalnya telah disahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). UU ini merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Untuk menyebarluaskan substansinya kepada masyarakat luas, Migrant CARE dengan dukungan MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender) mengadakan sosialisasi yang dilanjutkan dengan diskusi terfokus terkait rencana pengawalan implementasi UU PPMI di lima daerah kantung buruh migran: Indramayu, Kebumen, Wonosobo, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

“Sosialisasi ini sebenarnya kewajiban pemerintah, namun sosialisasi yang sudah dilakukan pemerintah terbatas pada dinas-dinas saja. Sehingga kami mengisi kesenjangan itu dengan menyasar masyarakat secara luas,” ucap Siti Badriyah, Koordinator Divisi Advokasi Kebijakan Migrant CARE. Bagi perempuan yang akrab disapa Makcik ini, UU PPMI tidak akan lahir tanpa desakan yang kuat dari masyarakat sipil. Karena itu ia menghimbau agar masyarakat senantiasa mengawal implementasi Undang-Undang ini seperti mandat yang tertuang dalam pasal 76 ayat 2.

Migrant CARE telah mengawal revisi UU ini sejak tahun 2010. Dalam perjalanannya, UU ini mengalami dinamika yang tidak sedikit. Makcik menjadi saksi kengerian pembahasan UU ini karena beberapa kali terjadi deadlock. Mengingat kembali lini masa, pada November 2010, revisi UU PPTKILN menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dua tahun kemudian ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang disahkan dalam UU Nomor 6 tahun 2012, mendorong pemerintah untuk mengharmonisasikannya dalam RUU PPILN (Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri). Namun Revisi UU ini berakhir pada pembahasan Tingkat I di tahun 2014. Kemudian di tahun 2015, RUU ini kembali diagendakan menjadi Prolegnas Prioritas dan di tahun 2016 namanya diubah menjadi RUU PPMI (Pelindungan Pekerja Migran Indonesia), sampai akhirnya diundangkan pada November 2017. UU PPMI adalah buah manis perjuangan para aktivis, seperti Makcik, yang mendorong pemerintah untuk segera mensahkannya.

Kebumen: Menyamakan Langkah Menjalin Sinergisitas

Pada 9 Mei lalu Sosialisasi UU PPMI telah diselenggarakan di Kebumen, tepatnya di Hotel Mexolie. Acara yang berlangsung sejak pukul 9 pagi hingga 3 sore ini mengundang komunitas buruh migran dan multi-stakeholder di tingkat daerah. Pemaparan pertama mengenai Peran Masyarakat Sipil dalam Mendukung Implementasi UU PPMI disampaikan oleh Siti Badriyah dari Migrant CARE. Ia menjelaskan mengenai poin-poin krusial keterlibatan masyarakat dalam UU ini.

Materi selanjutnya disampaikan oleh perwakilan Kementerian Tenaga Kerja, Devriel Sogia. Dalam paparannya, Devriel mengkritisi masalah mendasar Pekerja Migran Indonesia yakni tingkat pendidikan yang masih rendah. Selain itu, Devriel yang pernah bertugas sebagai Atase Ketenagakerjaan di beberapa negara, menyambut positif adanya penguatan peran atase khususnya untuk menyampaikan kondisi nyata  dan kebudayaan di negara tujuan. “Perlindungan itu dimulai dari diri sendiri. Dengan membekali diri kita dengan kemampuan dan informasi yang memadai merupakan salah satu upaya perlindungan,” ucap Devriel.

Bobi Anwar Maarif, dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menjelaskan mengenai perubahan-perubahan signifikan dalam UU PPMI. Dalam sudut pandangnya UU ini sudah cukup lengkap, salah satunya memasukkan definisi buruh migran yang berada di darat dan laut. “Pada UU sebelumnya, ABK (Anak Buah Kapal) tidak termasuk buruh migran walaupun mereka berada di luar negeri” ucap Bobi. Selain itu, Konvensi PBB 1990 juga sudah masuk dalam konsideran UU ini sehingga pengakuan hak-hak buruh migran menjadi lebih banyak. Layanan informasi yang dahulu sangat terbatas sekarang harus ada di  tiap desa yang menjadi pintu pertama perlindungan buruh migran. “UU ini secara normatif sudah bisa melindungi buruh migran, namun belum implementatif. Tergantung pada kesiapan pemerintah propinsi, daerah, dan desa,” tambahnya.

Paparan yang terakhir disampaikan oleh Wahyudi, Disnaker Kebumen, yang hadir mewakili Bupati Kebumen. Dalam sambutannya, ia mengajak seluruh pihak untuk  menyamakan langkah dalam pelaksanaan UU PPMI agar terjalin sinergisitas. Persepsi UU PPMI harus disamakan, sehingga kebijakan dapat benar-benar dijalankan. Acara ini juga dipandang sebagai komitmen bersama dan sangat membantu pemerintah dalam mendorong migrasi aman.

Setelah kegiatan sosialisasi, sesi kedua diisi dengan diskusi terfokus yang bertujuan merumuskan langkah-lagkah implementasi UU PPMI di Kebumen dan pengawalan implementasinya. Forum ini menjadi Forum dialog yang dinamis dimana berbagai pihak lintas sektor dapat menyampaikan pendapatnya. Kesiapan Pemerintah Daerah dan instansi terkait misalnya, di Kebumen masih ada beberapa catatan untuk mempersiapkan sumber daya seperti sarana kesehatan dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Mengenai peran desa dalam mengimplementasikan UU PPMI, Wahyudi berpendapat dapat dialokasikan dari dana desa untuk penyiapan skill SDM-nya. “Kalau ini hanya dibebankan kepada dinas maka akan terbatas, untuk itu diperlukan anggaran khusus dari dana desa,” ucapnya.

Menurut Anas, selaku koordinator MC Kebumen, melihat dari yang sudah berjalan sebenarnya peran masyarakat cukup nyata. Desa juga sudah mengambil peran yang banyak mengenai apa yang diamanatkan oleh undang-undang. “Intinya apa yang kita hasilkan hari ini bisa dijadikan bahan untuk mendesakkan Revisi Peraturan Daerah Kebumen. Rumusan-rumusannya akan disatukan dalam policy paper dan forum-forum seperti ini akan terus kita lakukan agar selalu update soal isu migrasi,” pungkas Anas merangkum diskusi.

Wonosobo: Membumikan UU Baru                                                                          

Setelah dari Kebumen, acara Sosialisasi UU PPMI dilanjutkan ke Wonosobo. Tepatnya pada 11 Mei 2018 bertempat di Hotel Kresna. Acara ini dibuka oleh Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo. Dalam sambutannya Wahyu menyampaikan bahwa sosialisasi ini bertujuan untuk membumikan undang-undang baru ini di tingkat kabupaten, kota juga desa. Ia berharap nantinya ada kesiapan mental dari para pelaksana.

Hadir pula dalam acara ini Suwondo Yudhistiro, Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Wonosobo. Wonosobo yang merupakan penyumbang PMI terbesar kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap, memiliki tantangan besar dalam perlindungan buruh migran. Dalam sambutannya, Suwondo menyampaikan komitmen pemerintah dalam implementasi UU PPMI. “Undang-undang dibuat untuk diterapkan bukan hanya sekedar hiasan atau tulisan, agar bisa menjadi perlindungan bagi PMI di Kabupaten Wonosobo,” tuturnya.

Acara Sosialisasi ini juga menghadirkan narasumber Direktur PTKILN Kemenaker RI, Soes Hindharno. Dalam paparannya ia membahas mengenai implementasi UU PPMI. Hadir pula Rahadi Giri Yuwono, dari Disnaker Wonosobo yang menjelaskan mengenai kesiapan dan persiapan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UU PPMI serta langkah-langkah yang telah dilakukan.

Acara dilanjutkan dengan diskusi terfokus yang dipandu oleh fasilitator Mutoam dari Universitas Sain Al-Quran (UNSIQ). Diskusi tersebut menghasilkan rencana tindak lanjut antara lain membuat tim kecil yang melibatkan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dan melakukan kembali diskusi penajaman tentang UU PPMI. Tidak lupa desa juga didorong untuk membuat Perdes yang sesuai dengan UU PPMI.

Infografis – Selayang Pandang UU PPMI

TERBARU