Kerentanan PMI Mendesak Disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Jumat (18/5) lalu telah berlangsung Konferensi Pers Mendesak Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Konferensi Pers ini diselenggarakan oleh beberapa organisasi yang memperjuangkan hak-hak buruh migran, antara lain Jaringan Buruh Migran (JBM), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), LBH FAS, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Migrant CARE, dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).

Dalam kesempatan ini Fitri Lestari, staf divisi Bantuan Hukum Migrant CARE menyampaikan data kasus yang ditangani oleh Migrant CARE pada tahun 2017. Sebanyak 84 persen kasus yang masuk adalah kasus yang dialami Pekerja Migran Indonesia (PMI) perempuan dengan permasalahan kontrak kerja, perdagangan orang, asuransi, dokumen, dan gaji. Hal ini semakin menegaskan bahwa pekerja migran perempuan masih rentan menjadi objek eksploitasi dalam situasi kerja dan migrasi yang tidak aman. “Untuk melindungi korban kekerasan, yang didominasi oleh perempuan, tentu saja tidak cukup dengan mengesahkan Undang-Undang namun juga perlunya penguatan perspektif Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Gender dan Non Diskriminatif kepada Pemerintah Pusat dan Daerah, Aparat Penegak Hukum, Pemangku Kepentingan bahkan Masyarakat Sipil,” ucapnya.

Sejak dari tahapan pra keberangkatan, penempatan, sampai kepulangan, pekerja migran perempuan tidak lepas dari kerentanan kekerasan seksual. Sebut saja R, salah seorang mantan Pekerja Migran Indonesia yang pernah bekerja di beberapa Negara memberikan testimoninya sebagai korban. “Dulu, sebelum berangkat ke luar negeri, saya melakukan prosedur medical check-up dengan dokter laki-laki, saya pikir kan seharusnya dokter perempuan,” ucapnya. Bukan hanya pada tahap pemeriksaan kesehatan, selama di penampungan, ia kerap menerima kekerasan seksual ketika diminta untuk melayani bosnya.

Karsiwen, Ketua KABAR BUMI, yang juga pernah bekerja di Hongkong memberikan keterangan bahwa kejadian seperti itu bukan hanya terjadi di negara asal saja tetapi juga di agen yang berada di negara penempatan, bukan cuma satu atau dua PT melainkan di banyak PT. Menurutnya, pekerja migran perempuan yang tau bahwa itu adalah masalah, kerap kali kebingungan, mereka tidak tahu harus mengadu kemana dan bagaimana. “Sebenarnya seperti di Hongkong, kekerasan seksual semacam ini bisa diadukan selama korban punya bukti berupa rekaman. Ini yang tidak banyak diketahui buruh migran Indonesia,” ucapnya. Upaya preventif dilakukan KABAR BUMI melalui sosialisasi-sosialisasi di negara penempatan. Ada kalanya mereka juga membuka konseling dan shelter untuk mengadu.

Bobi Alwi, Sekjen SBMI, menambahkan bahwa persoalan budaya juga jadi masalah. Misalnya di kasus R, dalam benaknya, tersenyum adalah suatu hal yang lumrah dilakukan selagi bekerja. Namun terkadang senyum itu di salah artikan oleh majikan laki-laki. Majikan laki-lakinya di Taiwan dulu, kerap mencolek-colek R saat tidak ada majikan perempuan. Ia juga tidak menerima kemerdekaan selama bekerja disana. “Selama bekerja 3 tahun di Taiwan, saya tidak pernah dikasih libur, kemana-mana harus didampingi oleh majikan laki-laki. Tangan saya sering dipegang-pegang, ketika masak di dapur saya sering disenggol-senggol,” tuturnya. Ancaman pun dilayangkan setiap kali ia hendak melaporkan tindakan tersebut kepada majikan perempuannya. “Kamu diam aja kan sudah saya kasih duit, kalau kamu bilang sama majikan perempuan kamu saya pulangkan ke Indonesia!” tutur R coba menirukan majikan laki-lakinya.

Pernah juga R bekerja menjaga seorang kakek jompo. Namun lagi-lagi ia menemukan hal-hal tidak wajar yang dilakukan kakek tersebut. Karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya mengangkat sang kakek ke tempat tidur dan memandikannya, si kakek kerap meminta hal-hal yang membuat R tidak nyaman. Semua hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan majikan karena ketakutan R untuk melaporkan. “Saya takut dikira omong kosong atau gimana,” ucapnya dengan nada putus asa.

Apa yang dialami R hanyalah potret sebagian kecil kerentanan yang dialami buruh migran perempuan, kenyataannya bisa lebih buruk lagi. Di luar sana masih banyak pekerja migran Indonesia yang terancam kekerasan seksual dan menuntut keadilan. Mereka tidak mendapatkan penanganan seharusnya dan pelakunya jarang dihukum. “Budaya patriarki yang masih bercokol dalam kebudayaan masyarakat Indonesia adalah budaya buruk yang harus dibenahi. Dengan pengesahan RUU PKS ini diharapkan korban yang mengalami kekerasan diberikan perlindungan dan pelaku diberikan sanksi hukuman sebagai pembelajaran,” tambah Fitri. RUU PKS yang disahkan akan menjadi dasar hukum sehingga perempuan memahami, berani menyampaikan dan melaporkan segala bentuk kekerasan yang dialaminya.

Selain itu, menurut Fitri, RUU PKS yang disahkan akan  memperkuat hubungan diplomatik dan bargaining position Pemerintah Indonesia. Bahwa pemerintah Indonesia tidak hanya melindungi warga negara indonesia namun juga warga negara asing yang menjadi korban kekerasan yang sedang berada di Indonesia. Pelaku kekerasan seksual tentunya akan dikenai sanksi pidana dan korban mendapatkan hak-hak perlindungan sebagai saksi atau korban.

Savitri selaku Seknas JBM menjelaskan Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ada sembilan definisi yang dimakud kekerasan seksual yakni pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, kawin paksa, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, dan eksploitasi seksual. “Definisi kekerasan seksual dalam RUU ini lebih lengkap. Sehingga penting untuk segera dibahas, karena sudah 3 tahun mangkrak,” ucapnya. Di tahun politik ini, para aktivis menagih komitmen DPR untuk memberikan perlindungan kepada buruh migran perempuan dari kekerasan seksual.

Release – Dukungan Jaringan Pekerja Migran Indonesia terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

TERBARU