Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret adalah bukti sejarah dari perjuangan perempuan-perempuan pada akhir abad ke 19 dan dilanjutkan hingga abad ke 20 dengan turun ke jalan melakukan mogok bersama atas kondisi kerja yang tidak layak. Pada 8 Maret 1857 di New York pekerja perempuan yang bekerja di pabrik mengadakan protes ditengah gelombang ekspansi ekonomi. Februari 1909, pekerja-pekerja perempuan di Amerika Serikat melakukan aksi menuntut kenaikan upah dan 8 jam kerja dalam sehari. Aksi tersebut kemudian diikuti oleh para pekerja perempuan di Kopenhagen, Jerman, Austria hingga Rusia. Pada tahun 1913 dan hingga tahun 1917, pekerja perempuan di Rusia mengorganisir pekerja-pekerja dengan memberikan selebaran dan artikel hingga diskusi kemudian demostrasi terbuka menuntut roti, perdamaian dan mengakhiri pemerintahan Tsar yang otoriter. Namun ketidakadilan, diskriminasi, upah tidak layak hingga jam kerja yang berlebih masih dialami oleh pekerja migran perempuan Indonesia. Perempuan-perempuan pekerja masih menjadi kelompok rentan. Perempuan masih berada dalam struktur sosial yang timpang dan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Pekerja migran indonesia pun terjebak dalam situasi migrasi yang sulit. Mereka menjadi korban diskriminasi, kekerasan, bahkan hingga meregang nyawa bekerja di Luar Negeri.
Menjelang peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2018, kasus kematian Adelina Sau menjadi sorotan publik. Adelina adalah salah satu potret bagaimana pekerja migran sektor domestik menjadi korban penyiksaan yang keji, hingga harus kehilangan nyawanya. Adelina adalah satu dari 192 orang pekerja migran yang meninggal dunia dari tahun 2013 hingga Februari 2018. Adelina juga adalah salah satu dari ratusan ribu perempuan Indonesia yang ditempatkan untuk bekerja di luar negeri setiap tahunnya. Data Statistik Penempatan BNP2TKI menunjukkan penempatan pekerja migran asal Indonesia 60 persennya didominasi oleh perempuan pada rentang tahun 2011-Januari 2018. Tingginya arus migrasi pekerja migran perempuan, pada kenyataannya juga diiringi dengan tingginya kasus pekerja migran perempuan. Di tahun 2017, 84% kasus yang diterima Migrant CARE adalah kasus pekerja migran perempuan meliputi; perdagangan orang, kontrak kerja, asuransi, dokumen, dan gaji. Hal ini semakin menegaskan bahwa pekerja migran perempuan masih rentan menjadi objek eksploitasi dalam situasi kerja dan migrasi yang tidak aman.
Dalam ranah kebijakan, Migrant CARE mengapresiasi disahkannya Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai langkah kebijakan ke arah yang lebih baik. Namun faktanya, pengesahan Undang-Undang harus dilengkapi dengan aturan turunan dan unsur pelaksananya. Untuk mengakhiri praktik-praktik kekerasan terhadap para pekerja migran (perempuan pada khususnya), maka perlu memastikan pelaksanaan Undang-Undang beserta unsur pelaksananya harus berperspektif pada Hak Asasi Manusia dan Keadilan Gender.
Atas situasi dan kondisi tersebut di atas, dalam peringatan Hari Perempuan Internasional 2018, Migrant CARE mendesak Pemerintah Indonesia untuk:
- Segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189/2011 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga.
- Menuntut pemerintah untuk segera Menyusun Peraturan Pelaksana UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang berprinsip pada Penghormatan dan Pemenuhan Hak-hak Pekerja Migran dengan mekanisme yang terbuka, transparan dan melibatkan masyarakat secara penuh.
- Menuntut pemerintah untuk membuat kerjasama atau perjanjian bilateral maupun multilateral dalam perlindungan pekerja migran dengan negara-negara penempatan pekerja migran Indonesia.
- Hapus semua biaya penempatan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri dan berikan jaminan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya secara gratis.
- Menuntaskan penyelesaian kasus-kasus pekerja migran Indonesia mengenai kekerasan yang dialami PRT Migran, perdagangan manusia (utamanya perempuan dan anak), pekerja migran tak berdokumen, pekerja migran yang bekerja di sektor kelautan, pekerja migran yang terjebak dalam sindikat kejahatan transnasional serta pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati.
Jakarta, 3 Maret 2018
Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE)
Kontak: 08129307964
Anis Hidayah (Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant CARE)
Kontak: 081578722874