Per tanggal 1 Januari 2018, Pemerintah Malaysia memberlakukan kebijakan Direct Hiring (perekrutan langsung) sebagai skema baru perekrutan pekerja migran sektor domestik di Malaysia. Melalui perekrutan langsung, pengguna jasa tenaga kerja (majikan) dimungkinkan berhubungan langsung dengan Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) tanpa melalui agency/mitra usaha. Kebijakan ini ditujukan untuk memangkas ongkos yang dikeluarkan pengguna jasa buruh migran sektor domestik. Sebelumnya, pengguna jasa harus mengeluarkan uang sekitar RM 12,000 hingga RM 18,000 kepada pihak agen. Namun melalui Direct Hiring, pengguna jasa hanya perlu membayar sekitar RM 1,635. Kebijakan perekrutan langsung pekerja migran sektor domestik ini berlaku bagi perekrutan tenaga kerja dari sembilan negara yaitu Indonesia, Thailand, Filipina, Kemboja, India, Laos, Nepal, Sri Langka dan Vietnam.
Berkisar satu pekan setelah kebijakan Direct Hiring diberlakukan, sebanyak 3,141 permohonan pekerja migran domestik masuk melalui System Maid Online (SMO) dan diterima oleh Jabatan Imigresen Malaysia. Sedangkan sebanyak 36 permohonan telah siap dan hanya menunggu verifikasi dari Fomema (Perubatan Pekerja Asing) yang akan menjadi kelompok pertama mendapatkan pekerja migran domestik melalui SMO. Selain kebijakan direct hiring, Malaysia juga menyatakan rencananya untuk membentuk Pengadilan Khusus (Special Court) untuk Kasus Perdagangan Manusia dalam menyikapi kasus perdagangan manusia di Malaysia yang terus melonjak.
Bertentangan dengan Peraturan yang Berlaku di Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui beberapa pihak menyatakan penolakannya terhadap kebijakan direct hiring yang diberlakukan Malaysia. Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan, Hery Sudarmianto mengatakan dalam Siaran Pers Kementerian Ketenagakerjaan yang diwartakan oleh Hukumonline, perekrutan langsung itu berpotensi menabrak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan PP No. 5 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penilaian dan Penetapan Mitra Usaha dan Pengguna Perseorangan.
Hery juga menjelaskan MoU Indonesia – Malaysia mengenai penempatan buruh migran sektor domestik sudah berakhir sejak 31 Mei 2016. Dan sampai saat ini kedua negara belum memperbaharui perjanjian tersebut. Hery menambahkan, sebelum MoU itu berakhir Pemerintah Indonesia sudah mengingatkan dan melayangkan draf MoU kepada pemerintah Malaysia untuk segera dibahas. Namun, sampai saat ini Pemerintah Malaysia ini belum merespon serius.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal dalam pernyataannya yang juga diwartakan oleh Hukumonline menyatakan, Pemerintah Malaysia harusnya berkonsultasi terlebih dulu dengan Pemerintah Indonesia sebelum menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan buruh migran terutama sektor domestik melalui sebuah forum resmi. Sehingga selain berpotensi melanggar aturan yang berlaku di Indonesia, pemberlakuan direct hiring berpotensi mengabaikan perlindungan terhadap buruh migran sektor domestik. Pasalnya, tidak ada mekanisme pengawasan dari Pemerintah Indonesia dalam kebijakan ini.
Celah bagi Praktik Perdagangan Manusia dan Kerja Paksa
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, melihat kebijakan perekrutan langsung ini dilematis karena pada satu sisi mengurangi ongkos rekrutmen buruh migran. Namun di sisi lain, akan rentan terjadi perdagangan manusia karena tidak adanya peran birokrasi yang mengawasi.
Untuk mengatasi persoalan kebijakan antar negara yang bertentangan, Wahyu menilai kedua negara (Malaysia dan Indonesia) harus membahas kembali MoU dengan berlandaskan konsensus perlindungan buruh migran yang disepakati tahun lalu. Karena dalam konsensus itu, sudah dimuat berbagai ketentuan yang memberi perlindungan terhadap buruh migran khususnya di sektor domestik. Praktik baik perekrutan langsung mungkin dapat dicontoh adalah kebijakan yang berlaku di Singapura. Dalam kebijakan perekrutan langsung di Singapura, pengguna jasa bisa merekrut langsung, namun penandatanganan kontrak kerja disaksikan KBRI. Sehingga dapat memutus mata rantai pihak yang selama ini mengambil banyak keuntungan dari proses perekrutan buruh migran seperti agen atau PJTKI. Lebih jauh, Wahyu menilai secara politis beberapa pihak di Malaysia memanfaatkan kekosongan hukum dalam penempatan buruh migran atas MoU yang telah berakhir dan masa transisi Undang-Undang Pekerja Migran yang baru disahkan, dalam rangka kontestasi merebut simpati di tahun politik.
Terpisah dari kebijakan perekrutan langsung, ditemukan juga fakta bahwa Malaysia menjadi tempat transit pemberangkatan buruh migran asal Indonesia ke kawasan Timur Tengah, pasca-dilakukannya moratorium sejak tahun 2015. Dalam pemberitaan, Kepolisian Indonesia melalui Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Ari Dono Sukmanto menyampaikan setidaknya 1.083 warga Indonesia diselamatkan di tahun 2017, dan 5 di antaranya adalah anak-anak. Sementara sebanyak 60 persen dari tindak perdagangan manusia yang dilakukan adalah dengan modus pemberangkatan menggunakan visa ziarah. Fakta ini menunjukkan bahwa moratorium pemberangkatan buruh migran ke kawasan Timur Tengah tidaklah efektif. Karena selain melanggar hak asasi manusia untuk bebas bekerja, moratorium pada kenyataannya memicu munculnya modus-modus perdagangan manusia baru. Salah satunya menjadikan Malaysia sebagai tempat transit.
Pengadilan Khusus untuk Kasus Perdagangan Manusia
Menyikapi terus meningkatnya kasus perdagangan manusia, Malaysia memiliki wacana untuk membentuk Pengadilan Khusus (special court) untuk kasus perdagangan manusia. Dalam pemberitaan, Pengadilan Khusus ini rencanannya akan dibentuk pada awal Mei di Selangor. Wakil Perdana Menteri Malaysia, Zahid Hamidi menyatakan, Pemerintah Malaysia berharap Pengadilan Khusus dapat mempercepat proses penanganan kasus perdagangan manusia dan meningkatkan kesadaran publik akan kejahatan ini.
Namun, pembentukan pengadilan khusus ini mendapat kritikan dari pegiat isu buruh migran di Malaysia. Tenaganita (kelompok advokasi hak-hak pekerja perempuan di Malaysia) menyatakan, kebanyakan korban tindak perdagangan manusia enggan untuk memproses hukum kasusnya karena adanya ekspektasi atas proses yang lama dan minimnya bantuan hukum yang dapat diakses. Mayoritas korban perdagangan manusia adalah pendatang dari luar negeri, sehingga mereka tidak ingin menunggu dalam waktu yang lama untuk mengikuti proses peradilan.
Kritik lainnya juga diberikan dari representasi Migrant CARE di Malaysia, Alex Ong yang melihat Pengadilan Khusus bagi kasus perdagangan manusia baiknya tidak hanya sebatas untuk menaikkan laporan atau reputasi Malaysia terkait upaya dalam mengatasi perdagangan manusia di mata internasional, tanpa fungsi lembaga yang strategis. Karena jika tanpa perencanaan dan perumusan fungsi kelembagaan yang baik, pembentukan Pengadilan Khusus perdagangan orang hanya menjadi sebuah nama, sementara praktik perdagangan manusia akan terus merajalela.
Sumber Referensi:
Portal Resmi Jabatan Imigresen Malaysia (Kementerian Dalam Negeri), “SMO: 36 majikan Terima Pembantu Rumah Asing”, Utusan Malaysia, 10/01/2018. Diakses dari http://www.imi.gov.my/index.php/ms/sumber-dan-arkib/keratan-akhbar/1439-smo-36-majikan-terima-pembantu-rumah-asing-utusan-malaysia.html
Portal Resmi Jabatan Imigresen Malaysia (Kementerian Dalam Negeri),”3,141 buat permohonan ambil pembantu rumah secara online”, KOSMO, 10/01/2018. Diakses http://www.imi.gov.my/index.php/ms/sumber-dan-arkib/keratan-akhbar/1436-3-141-buat-permohonan-ambil-pembantu-rumah-secara-online-kosmo.html
Thomson Reuters Foundation News. 15/01/2018. “Malaysia Plans Special Court on Human Trafficking as Cases Soar”. Diakses dari: http://news.trust.org/item/20180115122716-b3qlz/?cid=social_20180115_75296767&adbid=952893647648907270&adbpl=tw&adbpr=15762575
South China Morning Post. 16/01/2017. “Malaysia plans special court on human-trafficking as cases soar”. Diakses dari: http://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2128375/malaysia-plans-special-court-human-trafficking-cases-soar
Malaymail online. 10/01/2018. “Report: Malaysia now a transit for illegal Indonesians workers in Middle East”. Diakses dari: http://m.themalaymailonline.com/malaysia/article/report-malaysia-now-a-transit-for-illegal-indonesians-workers-in-middle-eas
Hukum Online. 13/01/2017. “Pemerintah Kritik Kebijakan Malaysia Soal Direct Hiring Buruh Migran”. Diakses dari: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a59a97c7dc78/pemerintah-kritik-kebijakan-malaysia-soal-direct-hiring-buruh-migran