28 March 2024 15:16

Berlindung Di Hutan

Berlindung di Hutan

Anis Hidayah Kepala Pusat Riset dan Studi Migrasi Migrant CARE

SAAT sebagian besar umat Islam di Indonesia bersukacita merayakan Lebaran dengan mudik ke kampung halaman, situasi sebaliknya dialami buruh migran RI tak berdokumen di Malaysia. Mereka terpaksa berhamburan menyelamatkan diri dalam hutan. Hutan mereka jadikan tempat berlindung dari sasaran razia otoritas Malaysia yang dilakukan sejak 1 Juli 2017. Razia dijalankan pascaprogram pemutihan E-kad Sementara Pekerja Asing yang berlangsung sejak 15 Februari dan berakhir 30 Juni 2017 gagal memenuhi target melegalisasi 600 ribu buruh migran tak berdokumen di Malaysia. Dari target itu, hanya 23% (155.680 orang) yang tercapai. Informasi yang diterima Migrant CARE dari beberapa komunitas buruh migran di Malaysia bahwa buruh migran RI tidak berdokumen yang berada dalam hutan ketakutan.

Mereka selalu terjaga sepanjang malam untuk melindungi anak-anaknya dari ancaman binatang liar yang sewaktu-waktu dapat memangsanya. Untuk bertahan hidup, mereka menerima dukungan logistik dari rekan sejawat yang berdokumen secara diam-diam. Malaysia yang notabene negara tetangga dan mengaku selalu serumpun justru lebih aktif melakukan razia dan deportasi terhadap buruh migran tidak berdokumen saat Lebaran. Tahun lalu, sepanjang Lebaran berlangsung, Malaysia mendeportasi buruh migran Indonesia tidak berdokumen. Dua minggu sebelum Lebaran, tepatnya 23 Juni 2016, Malaysia mendeportasi 900 orang melalui Pelabuhan Tanjung Pinang.

Enam dari mereka yang dideportasi ibu-ibu dengan bayi berumur dua minggu. Banyak di antara mereka yang masih menahan perih akibat luka bekas rotan/cambuk, dan bahkan masih mengeluarkan darah. Tiga hari menjelang Lebaran, 3 Juli 2016, pemerintah Malaysia juga kembali mendeportasi 600 buruh migran tidak berdokumen melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dan tahun ini, razia besar-besaran dilakukan sepekan setelah Lebaran. Ini terjadi di negara yang katanya menjunjung tinggi konsep Islam hadlari. Persoalan buruh migran tidak berdokumen di Malaysia memang persoalan klasik.

Sejak tragedi deportasi massal 600 ribu buruh migran RI tidak berdokumen di Nunukan 2002 yang mengakibatkan banyak korban sakit dan meninggal dunia, pemerintah RI dan Malaysia gagal membangun platform perlindungan bagi buruh migran tidak berdokumen atau PATI (pendatang asing tanpa izin) atau pendatang haram dalam sebutan mereka. Tragedi Nunukan merupakan sejarah terburuk migrasi tenaga kerja Indonesia yang terjadi pasca-Malaysia memberlakukan Akta Imigresen 1154 tahun 2002 sebagai hasil amendemen Akta Imigresen 1959 tahun 1963. Sebagai implikasi dari pemberlakuan Akta Imigresen itu, pascatragedi Nunukan 2002, nasib ratusan ribu buruh migran RI tidak berdokumen di Malaysia selalu dalam ancaman (hukuman cambuk, kurungan, denda, dan deportasi).

Sejak tragedi deportasi massal 600 ribu buruh migran RI tidak berdokumen di Nunukan 2002 yang mengakibatkan banyak korban sakit dan meninggal dunia, pemerintah RI dan Malaysia gagal membangun platform perlindungan bagi buruh migran tidak berdokumen atau PATI (pendatang asing tanpa izin) atau pendatang haram dalam sebutan mereka. Tragedi Nunukan merupakan sejarah terburuk migrasi tenaga kerja Indonesia yang terjadi pasca-Malaysia memberlakukan Akta Imigresen 1154 tahun 2002 sebagai hasil amendemen Akta Imigresen 1959 tahun 1963. Sebagai implikasi dari pemberlakuan Akta Imigresen itu, pascatragedi Nunukan 2002, nasib ratusan ribu buruh migran RI tidak berdokumen di Malaysia selalu dalam ancaman (hukuman cambuk, kurungan, denda, dan deportasi).

Di sisi lain, raksasa perusahaan sawit dan banyak pembangunan di Malaysia menggunakan jasa buruh migran. Pemerintah Malaysia setiap tahun memang memberlakukan masa amnesti (pengampunan) bagi buruh migran untuk sukarela pulang ke Tanah Air, tetapi waktunya sangat terbatas. Sementara itu, pemerintah RI selalu tidak maksimal memanfaatkan masa amnesti itu. Secara reguler, pemerintah Malaysia menerapkan politik represif terhadap buruh migran RI tidak berdokumen melalui razia oleh Polisi Diraja Malaysia dan RELA yang berjumlah 560 ribu orang. Praktik ini melanggar prinsip ‘equal rights for migrant workers’ dalam standar perburuhan internasional, tapi terus berlangsung di Malaysia.

Sejak 2011, pemerintah Malaysia memberlakukan kebijakan 6P (pendaftaran, pemutihan, pengampunan, pemantauan, penguatkuasaan, dan pengusiran) bagi buruh migran tidak berdokumen. Namun, kebijakan ini tidak mampu menjawab kompleksitas masalah. Apalagi, di bawah kebijakan ini, ratusan buruh migran RI tidak berdokumen yang telah berbondong-bondong untuk mendaftar dan mengeluarkan biaya tinggi tidak mendapatkan kepastian status berdokumen dan permit kerja. Sebaliknya, mereka mengalami penipuan oleh calo-calo liar. Terbukti, dari program 6P itu, 661.700 buruh migran tidak berdokumen mendaftar, hanya 312.581 orang dapat pemutihan dan pengampunan, 349.119 gagal mendapatkannya, dan dideportasi (52,76%).

Pada 2014, program ini diubah menjadi 3P atau rehiring di bawah pengelolaan IMAN Resources, tetapi juga gagal memberikan jaminan kepastian. IMAN satu-satunya institusi swasta yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri Malaysia dan memonopoli praktik pengurusan rehiring dan pemulangan dengan biaya sangat mahal (200% lebih mahal daripada harga tiket yang berlaku di pasar pada umumnya). Tahun ini, pemerintah Malaysia kembali memberlakukan kebijakan pemutihan baru berupa pemberlakuan E-kad Sementara Pekerja Asing yang berlangsung sejak 15 Februari sampai 30 Juni 2017. Hingga 1 Juli 2017, dari target 600 ribu buruh migran tidak berdokumen, hanya 155.680 orang yang mendaftar E-kad.

Kegagalan kebijakan pemutihan terhadap buruh migran tidak berdokumen di Malaysia dari tahun ke tahun mengindikasikan ketidakseriusan Malaysia membangun kebijakan perlindungan pekerja asing tak berdokumen yang selama ini menjadi tumpuan pembangunan di ‘Negeri Menara Petronas’ itu. Hal ini paralel dengan kebijakan di dalam negeri terhadap buruh migran tidak berdokumen yang diskriminatif. Padahal, sejak 2012, pemerintah RI telah meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of Migrant Workers and Their Families ke dalam UU No 6/2012. Dengan ratifikasi konvensi itu, semestinya pemerintah RI memiliki kewajiban melindungi seluruh buruh migran RI, baik berdokumen atau tidak tanpa diskriminasi. Temuan Migrant CARE menunjukkan ribuan buruh migran yang tak berdokumen di sana senantiasa menjadi korban penipuan untuk proses mendapatkan visa kerja, yang oleh pemerintah Malaysia malah diprivatisasi.

Tak jarang setiap bulan mereka harus membayar rutin kepada oknum Polisi Diraja Malaysia agar terhindar dari penangkapan. Pemerintah Malaysia mestinya tak hanya merazia dan mengusir pekerja yang mereka stigma sebagai pekerja haram, tapi juga harus mengakui bahwa selama ini Malaysia memanfaatkan secara licik jerih payah dan keringat buruh migran yang tak berdokumen. Untuk itu, Malaysia perlu membangun kebijakan melindungi seluruh pekerja asing dengan mengedepankan prinsip-prinsip penghormatan terhadap HAM dan perburuhan dan tidak gampang berubah setiap saat seperti selama ini.

Sementara itu, pemerintah RI harus mempercepat membangun roadmap perlindungan terhadap buruh migran dengan mengakhiri rezim migrasi yang jahat, korup, dan eksploitatif. Salah satunya segera menuntaskan revisi UU Perlindungan Buruh Migran yang beperspektif penghormatan terhadap HAM dan pekerja. Kalau tidak, mereka terpaksa akan terus memilih hutan untuk berlindung.

Sumber: http://mediaindonesia.com/news/read/111636/berlindung-di-hutan/2017-07-06

TERBARU