“Oh anak Indon rupanya?” Begitulah jawaban segelintir orang dalam memahami latar belakangku sebagai seorang anak buruh migran. Jika ditelusuri dari segi nama dan kedua orang tua, orang-orang akan mengira bahwa aku merupakan penduduk pribumi asli Malaysia. Namun di Sijil Kelahiran (akte kelahiran, red) jelas tercatat bahwa aku merupakan anak keturunan Indonesia. Ibu dan bapakku berasal dari Sulawesi Selatan dan Blitar, Indonesia.
Mungkin selama ini tidak banyak yang mengetahui bagaimana kehidupan dan tanggapan masyarakat kepada “golongan” kami. Ada tanggapan yang positif dan ada juga yang negatif dalam memahami kehadiran “golongan” kami. Istilah “anak Indon” pertama kali aku dengar di saat menduduki bangku sekolah rendah. Ejekan, makian dan hinaan dari segelintir “anak-anak nakal” sudah menjadi “makanan sehari-hari” bagi golongan kami saat di sekolah. Apa yang bisa kami lakukan setelah mendengar kata-kata yang menyakitkan itu? Ya jawabnya hanyalah menangis dan sesekali mencoba untuk melawan. Bukan dengan pukulan atau tindakan kekerasan yang lain, tetapi dengan argumen “adu mulut” saja. Dulu sempat bagi anak-anak keturunan Indonesia tidak dapat menerima fasilitas peminjaman buku teks pelajaran dan setiap tahun orang tua harus membelikan buku teks di toko buku. Timbul keinginan untuk merasakan fasilitas peminjaman buku teks dari sekolah. Keinginan tersebut akhirnya tercapai ketika aku berada di Tingkatan Empat tahun 2008 di mana ada perubahan kebijakan mengenai peminjaman buku teks. Semua golongan tanpa melihat dari latar belakang dan keturunan dibenarkan untuk mendapatkan fasilitas peminjaman buku teks.
Aku masih ingat gurauan serta kekhawatiran dengan teman sekolah yang sama menjadi anak buruh migran. “Susi, kita dekat sini macam orang asing. Orang-orang asyik cakap kita Indon lepas itu selalu kena ejek. Kita dekat sini macam tak diterima kan. Perkiraan kau kalau kita berdua pergi Indonesia kehadiran kita diterima tak ya? Macam mana kalau kita juga ditolak Susi?” secerca pertanyaan dan kekhawatiran penulis kepada sahabat. “Kalau kita still kena tolak, alamatnya kita buat rumah dekat tengah-tengah Selat Melaka.”gurau sahabat.
Seiring berjalannya waktuku mulai menginjak kaki ke sekolah menengah, timbul satu keinginan serta ketekadan dalam diri. “Sampai bila aku nak direndahkan? Sampai bila aku nak dipandang sebelah mata dan permasalahan tersebut terjadi dikarenakan aku anak orang Indonesia?”sederatan pertanyaan bermain di fikiran. Di saat memasuki Tingkatan Satu, aku ikut tergabung dalam organisasi Pengawas yang khusus untuk mengatur kedisiplinan murid sekolah. Mulai saat ini aku mau tidak mau lagi menjadi lemah dan hanya terima jika menerima ejekan serta hinaan. Jika hal itu terjadi, aku langsung melaporkannya kepada guru disiplin. Aku juga mulai fokus ke bidang akademik karena adanya keinginan untuk membuktikan dan “membeli” semua ejekan serta hinaan dari segelintir orang. Aku bersyukur karena mempunyai guru-guru yang sangat memahami keadaan dan status diri. Beliau tidak pernah menganaktirikan penulis dalam memberikan pelajaran, pembelajaran, dan sentiasa memberikan motivasi. Teman-teman sekelas juga sangat membantu terutama dalam pelajaran dan dukungan serta tidak mendiskriminasikan penulis dengan alasan “anak Indon”.
Aku sempat beberapa kali dipertanyakan dan dipersoalkan mengenai status kewarganegeraan yang dimiliki oleh segelintir orang. “Macam mana awak boleh dapat kewarganegaraan Malaysia sedangkan ayah Penduduk Tetap dan ibu hanya menggunakan visa?”tanyanya. “Sepatutnya awak itu hanya dapat status Penduduk Tetap je” tanyanya lagi. “Entahlah Cik. Kalau Cik nak tau sangat sila tanya dengan pejabat yang berkewenangan” ketus penulis.
Aku sempat ditawari oleh guru sekaligus mentor untuk memohon beasiswa sekolah. Kebutulan saat itu, pihak sekolah telah mengadakan program Perfect Score untuk beberapa murid termasuk penulis yang ditargetkan untuk mendapatkan nilai A bagi semua mata pelajaran. Guru pembimbing sekali gus mentor ditugaskan oleh pihak sekolah untuk mengawasi perkembangan akademik. Penawaran tersebut sempat ku tolak mentah-mentah karena berdasarkan pengalaman masa lalu ketika memohon peminjaman buku teks dari sekolah dasar sehingga sekolah menengah selalu gagal dikarenakan latar belakang sebagai anak keturunan Indonesia. Namun guru tetap dengan pendiriannya agar aku memohon beasiswa tersebut dan mengambilkan selembaran formulir beasiswa untuk diisi dari guru beasiswa. Setelah diisi dan diserahkan, tidak lama kemudian guru memanggilku bahwa permohonan beasiswa ditolak. Penyebabnya adalah sama, karena aku adalah anak keturunan Indonesia. Sakit hati akan penolakan tersebut? Tidak sama sekali, karena aku sering kali ditolak dan penyebabnya adalah sama.
Malu jadi anak buruh migran? Jawabannya tentu tidak! Bahkan aku bangga akan asal-usul dan silsilah keluarga. Kehidupan menjadi anak buruh migran memberikan banyak pengajaran dan pengalaman kepada diriku. Mandiri, tahan banting, kerja keras, dan tegas adalah salah satu sikap yang selama ini penulis dapatkan dari keluarga serta lingkungan. Didikan disiplin dan penanaman sikap sebagai “seorang perantau” dari orang tua sangat bermanfaat bagi diri penulis bak kata pepatah “bagaimana bunyi gendang, begitulah tariannya”, dan “bagaimana contoh, begitulah prakteknya”.
Berawal dari ejekan dan penolakan dari segelintir orang menjadi semangat kepada penulis untuk tidak mudah dan enggan di pandang rendah lagi. Tekanan perasaan dan sakit hati yang penulis rasakan menjadi semangat kepada diri sendiri untuk membuktikan tidak ada yang salah menjadi anak keturunan Indonesia di Malaysia dan kami juga bisa berprestasi seperti anak-anak yang lain terutama dalam bidang akademik. Aku berhasil membuktikannya saat menerima penghargaan anugerah pelajar cemerlang dalam Peperiksaan Menegah Rendah dan Sijil Tinggi Malaysia serta dapat membanggakan kedua orang tua yang selama di perantauan bekerja keras dan banting tulang dalam mencari rezeki tanpa mengenal waktu. Tekad untuk terus bangkit juga didukung oleh support dari orang tua, guru-guru, kawan-kawan dan masyarakat Malaysia yang tidak mendiskriminasikan “golongan” kami.