Pada bulan Juli 2016, pemerintah Indonesia mengumumkan akan melakukan eksekusi mati terhadap beberapa orang yang telah dijatuhi vonis mati. Salah satu di antaranya adalah Merri Utami, seorang buruh migran peremuan Indonesia yang terpidana hukuman mati narkotika dan hingga kini tidak jelas nasibnya. Berkat dukungan dan desakan dari berbagai pihak, eksekusi terhadap Merri Utami ditunda sambil menunggu proses hukum selanjutnya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Merri terlahir di Sukoharjo, Jawa Tengah pada 30 Januari 1974 merupakan sebuah gambaran kompleknya persoalan yang dihadapi sebagai buruh migran. Ibu dengan dua anak ini harus menerima kemalangan berlapis saat ia menjadi buruh migran. Di awal kisahnya menjadi buruh migran, Merri Utami berangkat ke Malaysia untuk bekerja atas paksaan suaminya. Ia dipaksa bekerja di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan suami dan anak-anaknya, bukan atas kemauannya sendiri.
Selain bekerja karena keterpaksaan, Merri juga kerap mendapatkan tindak kekerasan dari suaminya. Setelah dua tahun bekerja menjadi buruh migran di Malaysia, Merri harus menerima kenyataan pahit karena suaminya berselingkuh dan tidak memanfaatkan hasil uang hasil jerih payah Merri dengan baik. Suaminya berfoya-foya menggunakan uang yang dikirimkan Merri selama bekerja di Malaysia.
Hingga pada akhirnya, saat Merri berusia 25 tahun, ia memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Setelah bercerai, Merri memutuskan untuk bekerja menjadi buruh migran di Taiwan demi menghidupi kebutuhan dua anaknya di Indonesia.
Terjebak dalam Jaringan Sindikat Narkoba
Niat Merri Utami bekerja di Taiwan untuk sukses menghidupi kedua anaknya, kandas ketika ia mengenal sosok Jerry. Jerry adalah laki-laki yang mengaku sebagai warga negara Kanada yang memiliki bisnis di Indonesia. Pada awalnya Jerry memberikan perhatian kepada Merri sebagaimana seorang kekasih. Hal ini membuat Merri terbuai atas kebaikan Jerry.
Hubungan Merri dan Jerry terus berlanjut hingga rencana mereka untuk melancong ke Nepal. Jerry meninggalkan Merri di Nepal dengan alasan ada kepentingan bisnis yang harus dikejar. Saat Merri akan pulang ke Indonesia, ia dititipkan oleh teman Jerry sebuah tas tangan. Merri pun membawa tas tangan itu dalam penerbangannya menuju Indonesia. Saat tiba di Indonesia Merri pun terkejut saat petugas pemeriksa Bandara Soekarno Hatta mendapati tas tangan yang dibawanya berisi paket heroin seberat 1,1 kilogram. Saat Merri ditahan oleh pihak kepolisian, sejak saat itu nomor telepon Jerry yang disimpan oleh Merri tidak dapat dihubungi lagi. Akibatnya, ia harus mendekam di tahanan sejak tahun 2001 hingga saat ini dengan status terpidana hukuman mati narkotika. Merri menjadi terpidana hukuman mati atas tindak pidana importasi narkotika golongan I jenis Heroin yang diatur pada pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Proses Hukum yang Tidak Adil
Selama proses hukum yang dijalani, Merri mengaku mendapatkan banyak tekanan dari berbagai pihak. Polisi memaksa Merri untuk mengakui perbuatan yang senyatanya bukan perbuatannya dengan kekerasan. Selain itu, Meri juga mengaku mendapat kekerasan seksual dan kekerasan fisik dalam proses pemeriksaan di kepolisian.
Penderitaan yang dihadapi Merri tidak putus ditangan Polisi. Dalam proses peradilan pun Merri juga mendapatkan banyak ketidakadilan. Ia tidak mendapatkan hak atas informasi dan sistem peradilan yang jujur dan akses terhadap keadilan. Merri telah mengajukan banding atas keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman mati, namun tidak diterima. Akhirnya, dia mengirim grasi kepada Presiden Jokowi yang sampai saat ini belum mendapatkan respon.