Moratorium menjadi berita hangat dan ramai untuk dibicarakan. Berita hangat tersebut tersusun rapih dalam aturan keputusan menteri No.260 tentang penghentian pengiriman Pekerja Rumah Tangga migran (PRT migran) di 19 negara di Timur Tengah (Juli, 2015). Aturan yang mengikat ini seperti dua mata pisau; di satu sisi Negara berkeinginan tampil tegas di panggung global akibat peristiwa mengenaskan pada tenaga kerja Indonesia, di sisi lainnya aturan ini terancam menghilangkan pekerjaan perempuan kepala keluarga. Namun demikian, aturan tersebut tidak memupuskan harapan, mereka masih berupaya berbagai macam cara untuk berangkat. Realita ini terkonfirmasi dengan temuan banyaknya calon PRT migran menunggu keberangkatan kerja di bandara internasional.
Selama dua tahun ini, Migrant CARE melakukan survey dan menemukan 1,021 calon PRT migran baru yang akan berangkat ke wilayah Timur Tengah. Upaya pemberangkatan mereka dibantu oleh 340 PT sebagai penyalur. Beberapa dari mereka mengakui tentang jenis pekerjaan dan negara tujuannya. Setidaknya 200 calon buruh migran memberikan alibi kepergiannya; antara lain menggunakan visa ziarah, visa turis, umroh, transit, bekerja formal, menyamarkan penampilan, mengunjungi saudara, dan berbohong tujuan negara dan jenis pekerjaan. Bahkan dalam catatan survey, 100 calon buruh migran tidak mengetahui nama dan lokasi PT yang memberangkatkan mereka.
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau biasa disebut PT ialah agen yang menangani proses seleksi migrasi dan memiliki akses sangat mudah untuk memperoleh perijinan. Meskipun demikian, tidak ada kebijakan maupun peraturan yang melarang individu yang sebelumnya di PPTKIS “nakal” untuk terlibat lagi mengajukan ijin PPTKIS baru (Farbenblum, dkk. 2013). Jadi apabila Negara sudah mencabut izin PT karena tidak berprosedur dan indikasi trafficking, pemilik dapat membangun PT dengan nama baru, sehingga praktik pelanggaran dapat terus terlanggengkan. PT juga semakin lihai pada paska moratorium, mereka memindahkan calon buruh migran dari penampungan menuju bandara dengan menggunakan sembilan kali moda transportasi.
Situasi di lapangan tidak lagi membicarakan soal PT, arus migrasi seringkali oleh dikendalikan penyalur perseorangan atau calo. Tidak jarang penyalur bekerja sama dengan banyak pihak yang berada di posisi strategis mulai di desa, institusi hingga di bandara. Medan-medan perbatasan menjadi sasaran empuk untuk mobilisasi yang longgar pengawasan.
Ketidaktahuan identitas penyalur semakin mempersulit advokasi perlindungan buruh migran. Menurut tim penanganan kasus Migrant CARE, semakin banyak informasi yang dikumpulkan, semakin mempermudah penyelesaian kasus. Termasuk salah satu informasi terpenting ialah penyalur PT. Kasus-kasus terbanyak yang dikumpulkan dalam tahun ini ialah dokumen, gaji, penipuan, kontrak kerja, dan sakit.
Sebagai contoh, kasus buruh migran yang tidak mendapat gaji dari majikan, tentu membutuhkan PT sebagai penanggung jawab untuk masalahnya. PT sebagai perantara untuk komunikasi antara agen dan majikan di penempatan. Kasus signifikan lainnya ialah sakit, kematian, dan kecelakaan kerja, yang mana buruh migran memiliki hak untuk mendapat asuransi yang sudah didaftarkan oleh PT sebelum keberangkatan. Sesuai aturan, penyalur PT bertanggung jawab untuk memberi informasi tentang tata cara perekrutan, dokumen yang diperlukan, hak dan kewajiban calon TKI/TKI, situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan, dan tata cara perlindungan bagi TKI (pasal 34)2.
Salah satu akibat yang terlihat dengan jelas adalah banyaknya kasus deportasi buruh migran di berbagai wilayah. Contohnya: situasi perbatasan Nunukan di Kalimantan bisa mendapat kiriman deportasi 5-6 kapal dari Malaysia dengan jumlah 100 orang setiap satu kapal dan pada malam itu juga memberangkatkan kembali orang-orang yang sama ke Malaysia dan agen yang mengendalikan semuanya ialah calo dan oknum di posisi strategis. Cerita yang sama juga tidak berbeda jauh dengan perbatasan Batam. Situasi ini mengirimkan sinyal sos tanda bahaya bahwa identifikasi penyalur semakin buram dan situasi buruh migran semakin terancam, lantas kepada siapa, buruh migran meminta pertanggung jawaban?
Oleh karena itu, Negara perlu meningkatkan upaya-upaya perlindungan dengan berbagai strategi, antara lain, pertama, mengidentifikasi kembali penyalur PT untuk didaftarkan secara resmi di Negara, kedua, memperketat izin pendirian PT dengan cara memblack-list per-seorangan yang terjaring dalam migrasi unprosedural dan trafficking, dan ketiga, melakukan banyak pengecekan di lapangan, termasuk pada oknum berbahaya yang terjaring di instansi pemerintah dan swasta.
Referensi
- Farbenblum,dkk. 2013. Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia. New York: Open Society Foundation
- Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah
- Migrant CARE. 2016. Survey Rating System PPTKIS. Jakarta
- Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri