Pemerintah Indonesia dan Malaysia Harus Melakukan Investigasi Menyeluruh Terhadap Peristiwa Tenggelamnya Kapal
Hari ini dalam suasana hiruk pikuk perpolitikan di DKI yang kian memanas menjelang demo 4 November, kabar duka datang dari perairan di Batam. Tragedi kapal tongkang tenggelam kembali terulang yang berpenumpang buruh migran tidak berdokumen dari Malaysia yang mengakibatkan 17 orang meninggal dari total 93 penumpang, dimana 37 orang dinyatakan selamat dan 39 orang belum diketahui nasibnya. Tragedi ini bukan yang pertama, tetapi merupakan peristiwa kapal tenggelam keempat sepanjang tahun 2016. Pada 26 Januari 2016, 13 jenazah TKI ditemukan terapung di Johor Bahru Malaysia akibat kapal tongkang tenggelam. Pada 24 Juli 2016, 63 buruh migran tidak berdokumen tenggelam di Pantai Batu Layar, Perairan Sungai Rengit Bandar Penawar Kota Tinggi Johor dimana 34 orang selamat dan 29 diantaranya meninggal dunia. Pada 2 September 2016, 9 ABK asal Aceh terapung dilaut perairan Selat Malaka setelah boat yang mereka naiki tenggelam.
Terus berulangnya peristiwa kapal tenggelam yang mengakibatkan banyak nyawa buruh migran melayang sia-sia tidak bisa dilihat sebagai sebuah kecelakaan semata. Peristiwa ini harus dipandang sebagai implikasi sistemik dari gagalnya kebijakan perlindungan buruh migran tidak berdokumen di Malaysia yang tidak ramah dan diskriminatif terhadap mereka. Sejak tragedi deportasi massal 800.000 buruh migran tidak berdokumen di Nunukan tahun 2002 yang mengakibatkan banyak korban sakit dan meninggal dunia, pemerintah Indonesia dan Malaysia gagal membangun platform perlindungan bagi buruh migran tidak berdokumen yang di Malaysia di sebut sebagai PATI (Pendatang Tanpa Izin) atau pendatang haram. Tragedi Nunukan tersebut merupakan sejarah terburuk migrasi Indonesia yang terjadi pasca Malaysia memberlakukan Akta Imigresen 1154 tahun 2002 sebagai hasil amandemen Akta Imigresen 1959 tahun 1963.
Sebagai implikasi dari pemberlakukan Akta Imigresen tersebut, pasca tragedi Nunukan 2002, nasib ratusan ribu buruh migran Indonesia tidak berdokumen di Malaysia selalu dalam ancaman (penerapan hukuman cambuk, kurungan, denda dan deportasi). Ironisnya, nasib banyak perusahaan sawit dan pembangunan di Malaysia ditentukan oleh tenaga dan keringat mereka. Pemerintah Malaysia setiap tahun memang memberlakukan masa amnesty (pengampunan) bagi buruh migran untuk secara sukarela pulang ke tanah air, namun waktunya sangat terbatas dan pemerintah Indonesia senantiasa tidak maksimal memanfaatkan masa amnesty tersebut. Dan secara regular, pemerintah Malaysia menerapkan politik represif terhadap buruh migran Indonesia tidak berdokumen melalui razia oleh Polisi Diraja Malaysia dan RELA yang berjumlah 560.000 orang. Praktek yang melanggar prinsip “Equal Rights for Migrant Workers” dalam standar perburuhan internasional terus berlangsung di Malaysia.
Sejak tahun 2011, pemerintah Malaysia memberlakukan kebijakan 6P (Pendaftaran, Pemutihan, Pengampunan, Pemantauan, Penguatkuasaan, dan Pengusiran) bagi buruh migran tidak berdokumen. Namun kebijakan ini tidak mampu menjawab kompleksitas masalah, apalagi dibawah kebijakan ini, ratusan buruh migran Indonesia tidak berdokumen yang telah berbondong-bondong untuk mendaftar dan mengeluarkan biaya tidak mendapatkan kepastian untuk mendapatkan status berdokumen dan permit kerja tetapi sebaliknya mengalami penipuan oleh calo-calo liar yang tanpa pengawasan. Dari program 6P tersebut, 661.700 buruh migran tidak berdokumen mendaftar, 312.581 orang diantaranya dapat pemutihan dan pengampunan, sementara 349.119 orang gagal mendapatkan pemutihan dan pengampunan dan dideportasi (52,76%). Pada tahun 2014, program ini dirubah menjadi 3P atau Rehiring dibawah pengelolaan IMAN Resources, namun juga gagal memberikan jaminan kepastian. IMAN satu-satunya institusi swasta yang ditunjuk oleh Kementrian Dalam Negeri Malaysia dan monopoli praktek pengurusan rehiring dan pemulangan dengan biaya yang sangat mahal (200% lebih mahal dari harga tiket yang berlaku di pasar pada umumnya).
Kegagalan kebijakan tersebut diatas dari tahun ke tahun karena paradigma kedua Negara (Indonesia dan Malaysia) terhadap buruh migran tidak berdokumen diskriminatif. Situasi ini yang mengakibatkan buruh migran Indonesia tidak berdokumen mencari jalur alternative atau jalur tikus yang penuh resiko, pulang dengan kapal tongkang yang selama ini ternyata menghantarkan mereka pada kematian. Padahal sejak tahun 2012, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Convention on The Protection of The Rights of Migrant Workers and Their Families kedalam UU No 6 tahun 2012. Dengan ratifikasi konvensi tersebut, semestinya pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh buruh migran Indonesia, baik berdokumen atau tidak tanpa diskriminasi.
Atas situasi ini, Migrant CARE mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk:
- Melakukan investigasi menyeluruh atas seluruh peristiwa kapal tenggelam yang mengakibatkan buruh migran tidak berdokumen meninggal dunia yang diinidikasikan kuat sebagai implikasi sistemik dari gagalnya kebijakan perlindungan buruh migran tidak berdokumen di Malaysia yang tidak ramah dan diskriminatif terhadap mereka
- Melakukan evaluasi atas kebijakan penunjukan IMAN Resources sebagai satu-satunya institusi privat yang mengelola program Rehiring dan pemulangan dimana memberlakukan biaya yang mahal, berbelit, pengawasan lemah dan tidak ada jaminan kepastian hukum
- Membangun platform perlindungan buruh migran baik berdokumen maupun tidak di Malaysia berbasis pada penghormatan hak asasi manusia sesuai prinsip-prinsip dalam International Convention on The Protection of The Rights of Migrant Workers and Their Families
Jakarta, 2 November 2016
Anis Hidayah
Direktur Eksekutif
+6281578722874
Alex Ong
Country Representative Malaysia
+60196001728