Dalam rentang waktu satu minggu, Migrant CARE melakukan dua audiensi. Boleh dibilang minggu yang sibuk dalam momentum dua tahun pemerintan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Audiensi ini mengajak kita berefleksi, apakah tagar #ke2janyata benar-benar terasa dalam konteks perlindungan buruh migran? Saat revisi RUU PPILN belum juga tuntas, korban Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri bergelimangan karena ketidakadilan.
Tepatnya pada 26 Oktober 2016, Migrant CARE melakukan audiensi dengan Menteri Ketenagakerjaan RI, Hanif Dhakiri. Alih-alih selesai tahun ini, pembahasan RUU PPILN malah menuju deadlock. Guna mendesak percepatan pembahasan RUU ini, Migrant CARE bersama mitra di daerah (Migrant CARE Kebumen dan Banyuwangi), serta Kepala Desa (Kades) dari empat provinsi di Indonesia (Kebumen, Wonosobo, Banyuwangi, Jember dan NTB) yang menjadi penggerak Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi), mendatangi Ruang Kerja Kementerian Ketenagakerjaan di Jalan Jendral Gatot Subroto Kavling 51, Jakarta Selatan.
Berdasarkan pemantauan proses legislasi revisi UU No.39/2004 yang dilakukan Migrant CARE sepanjang tahun 2015-2016 ditemukan fakta ketidaksolidan pihak eksekutif dalam pembahasan RUU PPILN. Hal ini tentu ironis karena berdasar Amanat Presiden tanggal 10 Desember 2015 No: R72/Pres/12/2015, Presiden mengamanatkan agar pihak eksekutif (Kemenaker, Kemendagri, Kemenlu, KPPPA, Kemenpan RB, Kemenkumham dan BNP2TKI) memastikan pembahasan RUU PPILN sesuai dengan prinsip “negara hadir”. Salah satu penyebab ketidaksolidan itu adalah belum adanya kesepahaman yang sama mengenai kelembagaan yang menangani tata kelola perlindungan buruh migran.
Hingga hampir berakhirnya bulan Oktober 2016, Panitia Kerja (Panja) pemerintah belum ada tanda-tanda yang serius dalam melakukan pembahasan terhadap draf RUU PPMI. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar. Bagaimana sebenarnya komitmen pemerintah dalam upaya menyelesaikan draf RUU tersebut? Hal tersebut bertolak belakang dengan komitmen pemerintahan Joko Widodo yang tertuang dalam visi misi Nawacita yaitu negara hadir untuk melindungi warga negara yang menjadi buruh migran, sementara pemebahasan RUU TKI tak kunjung selesai.
“Ada sejumlah isu yang membuat pembahasan alot,” ucap Hanif Dhakiri saat menyampaikan pandangannya di forum. Desakan dan aspirasi para Kades yang hadir turut menjadi concern-nya. “Secara prinsip, sebagai pribadi kita berbagi pandangan yang sama,” tambahnya.
Pandangan itu ialah bahwa desa harus memiliki skema pengendalian arus migrasi warganya ke luar negeri. Ia juga sepakat bahwa peran PJTKI harus dibatasi. Dalam dua tahun terakhir ia menjabat sebagai menteri, ia belum pernah mengeluarkan izin baru bagi PJTKI. Justru mereka dipersulit, dengan peraturan setiap perusahaan harus melakukan sertifikasi ISO. Selain itu PJTKI pun sudah banyak yang dicabut surat izinnya.
Ia juga mengatakan bahwa sudah ada beberapa regulasi yang dibuat. Regulasi tersebut terbalut dalam Permenaker yang diantaranya melarang beroperasinya calo. Walaupun kita ketahui bahwa aturan ini belum bisa berjalan di lapangan karena beberapa hal. Terkait peraturan daerah dan desa, ia mengatakan bahwa ada rules tersendiri yang harus diikuti. Sembari RUU di revisi, untuk membantu rekan-rekan daerah membuat Perdes ia menuturkan akan membantu dengan pembuatan Permenaker.
Hanif juga mengaku tidak setuju dengan pasal penempatan. “Kita harus geser logika migrasi, bahwa orang bekerja ke luar negeri itu adalah hak-nya,” ucap Hanif. Negara hadir namun buruh migran juga harus menyadari tanggung jawabnya sendiri. Selama ini yang jadi problem adalah minimnya pilihan cara buruh migran untuk bekerja ke luar negeri.
Hanif dan timnya saat ini sedang mengembangkan Desa Migran Produktif (Desmigratif). “Jadi bukan hanya buruh migran, keluarganya akan kita skemakan pelatihan merawat anak, mengelola keuangan, pelatihan kerja atau wirausaha,” paparnya. Program ini mendukung program pemerintah one village one product.