Eskalasi kasus kekerasan terhadap buruh migran Indonesia (terutama perempuan) yang ditandai dengan tingginya tingkat kematian dan penganiayaan yang dialami buruh migran Indonesia (terutama di kawasan Timur Tengah, Malaysia dan Singapura) adalah wajah nyata buruh migran Indonesia yang tak bisa disembunyikan. Data Migrant CARE menunjukkan bahwa dua wilayah tersebut masih dianggap sebagai kawasan yang rentan bagi keselamatan buruh migran Indonesia.i
Berulangkali pemerintah Indonesia menyatakan bahwa jumlah buruh migran Indonesia yang mengalami masalah tak lebih dari 1% dari jumlah buruh migran Indonesia yang bekerja, berungkali kali pula pemerintah Indonesia menegaskan bahwa kebijakan penempatan buruh migran Indonesia memerlukan tumbal. Mengapa? Dengan mengakui bahwa buruh migran yang mengalami masalah “hanya” sekian persen, pemerintah dengan terus terang mentolerir bahwa pengorbanan buruh migran diperlukan untuk memperlihatkan mayoritas yang “berhasil”. Cara pandang ini secara benderang memperlihatkan bahwa pemerintah memang telah memperlakukan buruh migran Indonesia sebagai barang dagangan.
Dalam corak pemerintahan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, cara pandang ekonomi bisnis lebih mendominasi kebijakan mengenai penempatan buruh migran ketimbang pendekatan pemenuhan hak asasi buruh migran. Kenyataan ini diperlihatkan dari ketersediaan data yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Data yang selalu menjadi acuan adalah data tentang angka penempatan dan data tentang perolehan remitansi, namun pemerintah tak pernah bisa menjawab ketika ditanyakan mengenai data terpilah berdasar jenis kelamin dan juga data mengenai kematian buruh migran dan penyebabnya, data tentang bentuk kekerasan yang dialami buruh migran Indonesia serta jumlah buruh migran yang mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak-haknya.