Sebuah Nota Kesepahaman (MOU) dibentuk oleh #KoalisiAntiTrafficking yang terdiri dari beberapa kementerian dan lembaga negara yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan BNP2TKI pada Selasa, 23/8/2016.
Data dari IOM, hingga Desember 2014 human trafficking tercatat ada 7.193 orang korban yang terindentifikasi. Dari jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi pertama dengan jumlah 6.651 orang atau sekitar 92,46 persen, dengan rincian korban wanita usia anak 950 orang dan wanita usia dewasa 4.888 orang. Sedangkan korban pria usia anak 166 orang dan pria dewasa sebanyak 647 orang. Ironisnya 82 persen adalah perempuan yang telah bekerja di dalam dan di luar negeri untuk eksploitasi tenaga kerja.
Maraknya tindak pidana trafficking merupakan salah satu dampak dari lemahnya UU No. 39 Tahun 2004 yang saat ini masih dalam proses pembahasan Revisi oleh Panja Komisi IX DPR RI dan Panja Pemerintah termasuk Kementerian Ketenagakerjaan.
Pada tanggal 15 hingga 18 September 2016 dimungkinkan akan dilakukan pembahasan antara Panja Komisi IX dan Panja Pemerintah. Jika dalam pembahasan kali ini Panja Pemerintah tetap belum sepakat maka RUU PPILN terancam deadlock dan kemungkinan besar pembahasan akan tertunda sampai periode DPR 2019-2024. Jika pengesahan RUU PPILN diulur terus menerus, maka sama dengan menabung permasalahan buruh migran yang juga mengarah pada tindak pidana perdagangan orang.
Pembentukan koalisi ini menyisakan sebuah pertanyaan yaitu kenapa Kementerian Ketenagakerjaan tidak masuk dalam koalisi tersebut? Padahal Kemenaker adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk mencabut SIUP PPTKIS jika terjadi suatu pelanggaran. Termasuk juga untuk pelanggaran PPTKIS yang memfasilitasi terjadinya tindak pidana trafficking di luar negeri dengan modus pengiriman TKI.
Sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana trafficking, mestinya Kementerian Ketenagakerjaan layak untuk masuk dan dilibatkan dalam Koalisi Anti Trafficking yang dibentuk. Semestinya jua Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Luar Negeri segera duduk bersama untuk menyelesaian dan menyepakati RUU Pekerja Migran yang substansinya sendiri masih diperdebatkan. Karena keduanya pada dasarnya adalah satu induk yaitu dibawah Pemerintahan Presiden Jokowi- JK, untuk menerjemahkan visi Nawacita: “Negara Hadir Untuk Melindungi Buruh Migran”..
Dengan demikian maka komitmen anti Trafficking antar Kementerian/Lembaga adalah hal yang penting dan menyelesaikan Revisi UU 39 Tahun 2004 juga sangat penting penting. Jika pembahasan Revisi RUU tetap deadlock maka bisa jadi “Komitmen ANTI Trafficking menjadi Komitmen ANTRI Trafficking’, semoga saja tidak!