Belum genap satu semester pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, beberapa nyawa telah melayang demi sebuah kebijakan yang kebajikannya masih patut dipersoalkan. Di dalam negeri, eksekusi mati enam terpidana kasus narkoba mengawali rangkaian nyawa yang mesti dihilangkan karena dianggap tak layak lagi menghuni bumi yang telah Tuhan ciptakan. Di luar negeri, Siti Zaenab dan Karni mesti menghadapi algojo untuk sebuah kejahatan yang tak pernah pemerintah Indonesia melihat secara lebih jernih masalah yang menimpa buruh migran selama ini untuk melakukan pembelaan dan memberikan perlindungan. Pengalaman saya selama ini, hampir setiap kejahatan yang dialamatkan kepada buruh migran, bukan mereka yang mencipta causa utamanya.
Yang lebih mengerikan, ternyata eksistensi pemerintah ini tak mendapatkan penghargaan setara dengan bagaimana mereka selalu menempatkan bangsa lain dalam layanan kelas wahid. Mungkin hanya bangsa ini yang tak pernah marah meski sering dilecehkan oleh bangsa lain. Terakhir, dua buruh migran Indonesia yang diekskusi mati tanpa ada selembar notifikasi kepada pemerintah Indonesia menjadi bukti nyata kita sebagai bangsa yang tak berharga di mata bangsa lain.
Nawacita yang salah satunya menjanjikan kehadiran dan perlindungan negara serta memberi rasa aman kepada seluruh warga negara Indonesia, saat ini tak lebih dari pepesan kosong yang tak perlu diharapkan. Itu sebagaimana janji-janji gombal para politisi yang memang dibuat tapi tidak untuk ditepati. Saat ini kita memang perlu kehadiran negara, bukan karena Nawacita yang telah dijanjikan itu, tapi karena memang kita sedang dalam kondisi yang kritis. Mengingat di belakang Siti Zaenab dan Karni, masih ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara.
Menurut catatan Migrant CARE, setidaknya ada 278 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati dan 59 diantaranya sudah vonis tetap dan 219 dalam proses hukum. Dan tidak menutup kemungkinan, angka tersebut terus bertambah. Karena 5 tahun terakhir, angka kasus ancaman hukuman mati menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sepanjang tahun 2013-2015, setidaknya 92 kasus baru muncul. Ini mengindasikan bahwa pemerintah Indonesia gagal melakukan upaya pencegahan dan perlindungan.
Korban Perbudakan Modern
Sejak era 90an kasus buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati merupakan isu krusial yang ditandai dengan eksekusi mati terhadap Basri Masse (1993) di Malaysia. Hingga kini kasus ancaman hukuman mati seolah tak terpecahkan, sehingga tak aneh bila saat ini mencapai angka ratusan. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dibentuk satgas penanganan WNI yang terancam hukuman mati pasca eksekusi terhadap Ruyati. Namun Satgas ini bersifat ad hoc, hanya satu tahun, dan juga tidak mampu menahan laju kasus-kasus baru buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.
Pekerjaan rumah penting yang selama ini tidak diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia dari masa ke masa adalah reformasi sistem perlindungan. Lemahnya perlindungan negara terutama terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran menjadi latar untuk terciptanya kondisi kerja tidak layak yang mengakibatkan berbagai pelanggaran HAM secara sistematis. Dalam kondisi kerja tidak layak (bekerja lebih dari 18 jam, tidak ada istirahat, tidak ada libur, terbatas akses komunikasi) mereka rentan mengalami penyiksaan dan perkosaan.
Kondisi ini sering menyebabkan mereka terpaksa melakukan tindakan kriminal untuk membela diri dan mempertahankan kehormatan mereka sebagai manusia dan perempuan. Seperti yang dihadapi Ruyati, Yanti Iriyanti, Siti Zaenab dan Karni yang kesemuanya mesti dihukum mati untuk sebuah kejahatan yang tak mereka inginkan. Oleh karena itu, memastikan kondisi, situasi, dan motivasi dalam sebuah tindak kejahatan menjadi pertimbangan hakim selama persidangan adalah hal mutlak yang harus dilakukan pemerintah ini.
High Level Diplomacy
Merunut rentetan eksekusi mati yang pernah dilakukan di Arab Saudi, mulai dari Yanti Iriyanti (2008), Ruyati (2011), Siti Zaenab, dan Karni (2015) yang kesemuanya tanpa notifikasi kepada pemerintah Indonesia, Presiden Jokowi selaku kepala negara dan kepala pemerintahan harus mampu memimpin langsung diplomasi pembelaan terhadap buruh migran yang masih berderet panjang menghadapi ancaman hukuman mati. Presiden harus mampu mengambil pelajaran berharga dari pendahulunya, Gus Dur, dan juga Presiden Philipina, Perdana Menteri Australia, Presiden Brazil sebagai kepala negara yang bersungguh-sungguh berupaya melindungi dan membela warga negaranya.
Diplomasi tersebut harus dimulai dari pemerintah Indonesia sendiri untuk menghapus hukuman mati atau setidaknya melakukan moratorium hukuman mati, sehingga pemerintah Indonesia memiliki legitimasi moral untuk membebaskan warganya dari hukuman mati. Selain itu, harus segera disusun kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang yang komprehensip dengan skema migrasi yang mengedepankan penegakan hak asasi manusia untuk mengakhiri rezim migrasi yang eksploitatif. Revisi Undang-undang No. 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan buruh migran harus segera dituntaskan dengan berbasis pada prinsip-prinsip yang ada dalam International Convention on the Protection of All Rights of Migrant Workers and Their Families yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 12 April 2012 yang lalu. Revisi terhadap undang-undang tersebut juga harus memiliki spirit menghapuskan peran swasta yang selama ini memonopoli proses migrasi untuk memastikan hadirnya kembali negara mulai desa hingga sentral birokrasi.
Wajah migrasi yang perempuan juga menuntut pemerintah Indonesia untuk segera mengesahkan RUU PRT di dalam negeri dan ratifikasi konvensi ILO 189. Pengesahan RUU PRT akan memperkuat diplomasi Indonesia untuk memproteksi PRT migran Indonesia di luar negeri. Saya hanya ingin mengingatkan, keinginan pemerintah untuk menghentikan pengiriman PRT migran ke luar negeri tanpa dibarengi solusi yang memadai di dalam negeri itu hanya akan melanggar hak setiap orang untuk bekerja.
Bila pemerintah tak segera mengakhiri persoalan ini semua, kiranya rezim ini memang suka bermain dengan nyawa. Semoga saya keliru!