Batalkan Eksekusi Pidana Mati Demi Penghormatan Pada Martabat Kemanusiaan

Aliansi Tolak Hukuman Mati
“Berikan Grasi bagi MU dan Batalkan Eksekusi Pidana Mati Demi Penghormatan Pada Martabat Kemanusiaan”

Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung akan kembali melakukan eksekusi hukuman mati tahap ke 3 untuk sejumlah terpidana mati yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir bulan Juli 2016. Salah satu terpidana mati adalah Merri Utami (MU), seorang perempuan yang pernah menjadi buruh migran dan sekaligus menjadi korban perdagangan manusia dan dijebak oleh sindikat narkoba.

MU yang pada tahun 2001 divonis hukuman mati atas tuduhan menyelundupkan narkoba, adalah seorang perempuan terpaksa bekerja sebagai buruh migran untuk menghidupi anak dan keluarganya. Keputusan menjadi buruh migran diambil karena MU sendiri adalah korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya.

Saat ini MU telah dipindahkan ke Nusa Kambangan untuk dipersiapkan dan diisolasi menghadapi eksekusi mati yang waktunya menunggu keputusan dari Kejaksaan Agung. MU selama ini telah menjalani hukuman penjara selama 15 Tahun dan menurut catatan pihak Lembaga Pemasyarakatan sangat kooperatif, aktif dalam berbagai kegiatan serta tidak pernah membuat masalah.

Merujuk pada catatan pemantauan dan pedampingan Komnas Perempuan dan kronologis kasus tehadap MU, Aliansi Tolak Hukuman Mati menilai bahwa vonis hukuman mati yang diberlakukan selama ini masih rentan diberlakukan kepada korban perdagangan orang/sindikat narkoba, dan tidak menyasar pada pelaku atau otak pelaku kejahatan narkoba yang utama.

Penerapan hukuman mati selalu dianggap sebagai metode yang signifikan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan dan sindikat narkoba, walaupun dalam faktanya belum ada penelitian ilmiah yang bisa menguatkan efek dari pemberlakukan hukuman mati terhadap penurunan angka kejahatan. Hal ini juga dibuktikan bahwa negara belum berhasil menyelesaikan akar masalah dari mengguritanya problem narkoba selama ini, dan vonis hukum pun akhirnya lebih banyak diarahkan kepada mereka yang sebenarnya berada dalam kerentanan, seperti perempuan, anak-anak, atau mereka yang berada dalam tekanan relasi kuasa dan tak paham akan kejahatan narkotika itu sendiri.

Mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, hukuman mati bertentangan pada nilai dan prinsip penghormatan pada martabat manusia. Hal ini juga dikuatkan dengan berbagai hukum Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia mulai dari Deklarasi Hak Asasi Manusia, Konvensi Anti Penyiksaan, Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik, dan instrument HAM internasional lainnya. Hukuman mati pun tidak sejalan dengan semangat pembaharuan mekanisme hukum yang saat ini didorong untuk lebih mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan. Berkaca pada kasus Yusman dan Mary Jane Fiesta Veloso pada Tahun 2015 lalu, hukuman mati juga harus benar-benar dapat menjalankan asas fair trial sehingga tidak mengkiminalisasikan individu yang sebenarnya adalah korban dan bukanlah pelaku.

Kekeliruan proses hukum dalam penentuan pidana kepada MU bisa jadi akan terulang kembali, karena dalam pengakuan MU sendiri tidak memahami perihal heroin sebanyak 10.1 gram yang dititipkan ditasnya, dan menyadari setelah penangkapan bahwa dirinya telah dijebak oleh sindikat narkoba.

Terungkapnya berbagai kasus mafia peradilan yang melibatkan jaksa, hakim, panitera dan aparat penegak hukum lainnya memperlihatkan bahwa proses peradilan di Indonesia jauh dari prinsip fair trial sehingga bukan tidak mungkin putusan pidana mati juga dijatuhkan dalam proses peradilan yang sesat dan jauh dari asas-asas keadilan.

Saat ini MU juga sedang memproses pengajuan Grasi kepada Presiden, namun tib-tiba datang kabar bahwa MU termasuk dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi akhir bulan ini.

Aliansi Tolak Hukuman Mati juga menyatakan jika pelaksanaan eksekusi ini tetap diberlakukan, maka Indonesia akan diperhadapkan dalam situasi ironis dan inkonsisten didunia internasional. Karena eksekusi mati kontradiktif dengan upaya Indonesia untuk menyelamatkan sejumlah buruh migran diluar negeri dari ancaman hukuman mati, tidak akan ada artinya jika di negara Indonesia sendiri hukuman mati masih diterapkan. Kondisi ini akan semakin memperlemah performa diplomasi dan upaya-upaya advokasi global Indonesia khususnya memperjuangkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan perlindungan Buruh Migran Indonesia yang sedang didorong saat ini.

Berkaitan dengan paparan diatas maka Aliansi Tolak Hukuman Mati menyuarakan dan mendorong pemerintah Indonesia khususnya Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang kembali proses eksekusi pidana mati yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Pemerintah Indonesia khususnya aparat penegak hukum harusnya dapat melihat kembali vonis hukuman mati khususnya kepada sdri MU merujuk pada kronologi kasus yang lebih mengarah pada korban perdagangan orang melalui sindikat narkoba, dan mengabulkan permohonan grasi yang diajukan oleh MU.

Menggarisbawahi keseluruhan dari pernyataan ini Aliansi Tolak Hukuman Mati juga kembali menyerukan kepada Indonesia khususnya Presiden Jokowi agar dapat mencari terobosan bagi upaya-upaya penegakan hukum yang tidak menciderai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, termasuk dalam bentuk penerapan pidana mati. Pemerintah Indonesia harus memberlakukan kembali moratorium eksekusi terpidana mati. Pemerintah juga berkewajiban untuk meninjau kembali semua putusan pengadilan yang memberikan vonis pidana mati, mengingat masih tingginya kemungkinan kesalahan vonis dan proses peradilan yang tidak fair dalam memberlakukan sanksi pidana mati.

Jakarta, 26 Juli 2016

TERBARU