Buruh Anak dan Ancaman Hukuman Mati

Masih ingatkah kita pada Wilfirida Soik? Perempuan muda asal Belu, Nusa Tenggara Timur– daerah miskin perbatasan Indonesia-Timor Leste– ini dituntut hukuman mati oleh pengadilan Kota Bharu, Kelantan Malaysia karena membunuh majikan.

Wilfrida masih di bawah umur ketika direkrut oleh agen pengerah tenaga kerja, ia pun ditempatkan ke Malaysia pada saat Indonesia menyatakan moratorium menempatkan PRT migran ke Malaysia.

Dalam situasi seperti itu, Wilfrida jelas berposisi sebagai korban perdagangan manusia. Itulah sebabnya, pengadilan di Kota Bharu, Kelantan, Malaysia akhirnya membebaskan Wilfrida dari tuntutan hukuman mati atas tuduhan kasus pembunuhan atas majikan.

Korbannya anak-anak

Kasus serupa juga pernah dialami oleh Siti Aminah, perempuan muda asal Jember, Jawa Timur. Ia dituntut hukuman mati oleh pengadilan Singapura karena membunuh majikan.

Dalam persidangan terungkap bahwa ketika bekerja ke Singapura, Siti Aminah dipalsukan dokumen perjalanannya. Usia Siti Aminah semestinya tidak memenuhi syarat untuk bekerja ke luar negeri, dan siasat busuk dijalankan oleh agen perekrut tenaga kerja dengan mengubah umur Siti Aminah di dalam dokumen perjalanannya. Oleh karena itu dalam persidangan, dokumen asli yang ditunjukkan pengacara bisa menjadi penyelamat bagi Siti Aminah dari tiang gantungan.

Dua realitas di atas memperlihatkan bahwa dalam proses penempatan buruh migran melalui PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta), –yang merupakan satu-satunya mekanisme yang diakui pemerintah— tidak menjamin bahwa seluruh prosesnya terbebas dari praktik-praktik perdagangan manusia.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Migrant CARE, praktik yang dianggap lumrah dalam proses resmi rekruitmen calon tenaga kerja Indonesia adalah pembuatan dokumen perjalanan aspal (asli tapi palsu).

Modusnya berawal dari pemalsuan dokumen kependudukan di tingkat desa hingga kemudian menjadi landasan untuk pembuatan dokumen perjalanan (paspor).

Pengubahan identitas kependudukan biasanya untuk umur (agar sesuai dengan syarat minimal), status sipil (lajang menjadi menikah atau janda) bahkan nama (sebagai siasat bagi mereka yang pernah bekerja ke luar negeri yang namanya di-blacklist oleh negara tujuan).

Keterlibatan petugas resmi

Melihat modus operandi pembuatan dokumen aspal calon tenaga kerja Indonesia, jelas terlihat adanya keterlibatan otoritas resmi, mulai dari tingkat desa hingga aparat kantor imigrasi. Tidak mengherankan di beberapa wilayah yang mengitari Jakarta, seperti Sukabumi, Karawang, Tangerang, Bekasi dulu pernah marak istilah “desa pabrik KTP”, spesialis pembuatan KTP palsu.

Merekrut dan menempatkan PRT mudia usia juga mengandung resiko soal ketidaksiapan menghadapi kondisi kerja yang berat (3D: difficult, dark, dangerous), apalagi dalam tahap persiapan pemberangkatan, pembekalan yang dilakukan agen pengerah tenaga kerja sangat tidak memadai dan seadanya.

Bahkan kadang-kadang keberadaan mereka di BLK bukan untuk menjalani pelatihan tetapi hanya sebagai (maaf) stok menunggu job order dari majikan. Oleh karena itu dalam beberapa kasus PRT migran Indonesia yang menghadapi hukuman mati, sebagian besar di antaranya adalah mereka yang berusia muda.

Melihat realitas-realitas tragis tersebut, sangatlah relevan untuk menyambut seruan yang terkandung dalam Konferensi Tahunan IL0 (International Labour Conference) yang berlangsung pada tanggal 30 Mei – 10 Juni 2016: Building the Future of Decent Work: Membangun Masa Depan Pekerjaan Yang Layak.

Negara wajib melindungi

Seruan ini menegaskan kembali apa yang menjadi target-target untuk kaum buruh di dalam komitmen global Sustainable Development Goals: situasi kerja yang layak, migrasi yang aman, tidak mempekerjakan anak-anak, bebas dari diskriminasi terhadap perempuan, bebas dari perbudakan dan praktik perdagangan manusia.

Dalam konteks Indonesia, seruan tersebut juga sangat relevan untuk menegaskan kembali prinsip-prinsip kerja layak dalam kandungan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia Ke Luar Negeri yang sedang dalam proses legislasi, sebagai pengganti UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri yang sudah usang dan tidak relevan lagi.

Indonesia juga diingatkan untuk segera meratifikasi dan mengadopsi Konvensi ILO No. 189/2011 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Dalam merespon kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh PRT migran Indonesia, yang seharusnya dikedepankan oleh pemerintah Indonesia adalah pendekatan berbasis hak asasi manusia, yaitu tetap menjamin hak bekerja bagi PRT migran, serta memastikan negara pro aktif memberi perlindungan, baik dalam bantuan hukum maupun diplomasi politik.

Rencana pemerintah untuk melarang perempuan bekerja sebagai PRT migran ke luar negeri bukan jalan keluar yang tepat karena selain merupakan bentuk pelanggaran hak perempuan untuk bekerja, juga merupakan manifestasi pengingkaran tanggungjawab negara.

Telah dimuat di DW.com

TERBARU