Evaluasi Kritis Migrant CARE Memperingati Setahun Pemerintahan Jokowi-JK Dalam Agenda Perlindungan Buruh Migran
Pemerintahan Jokowi-JK Belum “On The Track” Dalam Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Tepat setahun yang lalu 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla resmi memegang tampuk pemerintahan Republik Indonesia. Dengan mengusung visi-misi Nawacita, pemerintahan Jokowi-JK mencoba menghadirkan negara untuk warga negara Indonesia yang selama ini terabaikan.
Buruh migran Indonesia adalah salah satu komponen warga negara Indonesia yang selama ini jauh dari jangkauan pelayanan dan perlindungan pemerintah Indonesia. Dengan tagline “negara hadir” di visi misi Nawacita, harapan akan adanya langkah perlindungan yang lebih memadai di era pemerintahan Jokowi-JK adalah sebuah keniscayaan. Dalam Pemilu Presiden 2014, suara buruh migran Indonesia juga banyak diberikan kepada pasangan Jokowi-JK sehingga pasangan ini mendapatkan kemenangan di daerah pemilihan luar negeri. Bahkan berdasarkan pantauan Pemilu RI di Luar Negeri, salah satu pemicu tingginya partisipasi buruh migran dalam Pemilu Presiden RI tahun 2014 adalah sosok Capres Joko Widodo.
Namun apakah harapan dan optimisme tersebut sudah mewujud pada perjalanan 1 tahun pemerintahan Jokowi-JK?
Tentu saja tak mudah membalik tangan untuk mewujudkan kondisi layak bagi buruh migran Indonesia dalam jangka waktu yang singkat. Pemerintahan sebelumnya mewariskan segudang masalah seperti tingginya angka perbudakan yang dialami oleh buruh migran Indonesia serta masih banyaknya jumlah buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. Belum lagi, masalah tata kelola penempatan buruh migran Indonesia yang menempatkan buruh migran sebagai obyek pemerasan dan pengambilan keuntungan secara tidak sah dan sewenang-wenang, baik oleh sektor swasta maupun birokrasi. Sementara itu kasus-kasus kronis yang dialami oleh buruh migran seperti gaji yang tidak dibayar, bekerja melebihi waktu, pelecehan seksual, perkosaan hingga kekerasan yang berujung pada kematian juga terus berlangsung. Ironisnya, sebagian besar pelaku pelanggaran HAM terhadap buruh migran Indonesia masih menikmati impunitas (melakukan kejahatan tanpa penghukuman).
Dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK setidaknya ada 3 institusi yang memiliki mandat untuk perlindungan buruh migran yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Bagaimana kinerja ketiga institusi tersebut? Perubahan nomenklatur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjadi Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya bisa mendorong institusi ini focus pada kebijakan ketenagakerjaan (perburuhan) baik didalam negeri maupun di luar negeri serta mengkoherensikan bahwa persoalan buruh migran tak lepas kaitannya dengan kebijakan perburuhan di dalam negeri. Namun demikian, hingga setahun pemerintahan Jokowi-JK perubahan nomenklatur tersebut tidak membawa reformasi signifikan dalam kebijakan ketenagakerjaan.
Kementerian ini malah melanjutkan kebijakan-kebijakan kontradiktif dari menteri sebelumnya mengenai RoadMap Penghapusan PRT Migran. Dalam perspektif hak asasi manusia, argumen pelarangan PRT migran ke luar negeri sebagai langkah perlindungan adalah sesat pikir. Dalam prakteknya, langkah moratorium dan penghentian permanen hanya menghasilkan potensi pembesaran praktek perdagangan manusia atasnama penempatan buruh migran. Ironisnya, pada era pemerintahan saat ini, moratorium penempatan buruh migran menjadi kebijakan permanen yang dilegitimasi dengan Permenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke 19 negara tujuan di Timur Tengah yang berlaku efektif sejak Juli 2015. Kebijakan ini bisa dipastikan akan meriplikasi kegagalan moratorium-moratorium sebelumnya. Dimana berdasarkan penelitian Migrant CARE di bandara Soekarno Hatta, dari 1.650 orang PRT migran yang akan berangkat ke Timur Tengah 46,4% diantaranya adalah PRT migran yang baru berangkat ke Timur Tengah. Situasi ini memperlihatkan bahwa moratorium hanyalah kebijakan diatas kertas semata.
Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran lebih nyata terlihat dari kinerja Kementerian Luar Negeri. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mempunyai komitmen yang kuat dalam perlindungan buruh migran Indonesia. Rekam jejak semasa menjadi Dubes RI di Belanda, Menlu Retno aktif memfasilitasi adanya pembentukan organisasi buruh migran Indonesia di Belanda. Dalam forum bilateral, regional (ASEAN) dan multilateral, masalah buruh migran selalu diusulkan dan diperjuangkan sebagai agenda prioritas. Namun demikian, langkah-langkah progresif Menlu Retno tidak diimbangi oleh kinerja perwakilan RI di luar negeri yang masih bekerja “business as usual”. Cara pandang yang diskriminatif terhadap buruh migran membuat mereka merasa bahwa menangani masalah buruh migran dianggap sebagai “beban” bukan sebagai “tanggungjawab”. Seperti di KBRI Kulalumpur Malaysia, citizen services hanyalah jargon, pelayanan dokumen keimigrasian semakin birokratis. Bahkan Perwakilan RI melegitiamsi beropersinya monopoli swasta, yakni IMAN Resources dalam pengurusan pelayanan dokumen bagi buruh migran tidak berdokumen.
Sementara itu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai institusi yang dimandatkan oleh UU No. 39/2004 masih belum bisa menuntaskan masalah duplikasi kewenangan dengan bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di lingkungan Kemenaker. Meski demikian ada beberapa langkah yang patut diapresiasi dari inisiatif BNP2TKI, misalnya perancangan penurunan biaya penempatan ke Taiwan, evaluasi kinerja PPTKIS dan pelibatan masyarakat sipil (CSO dan organisasi buruh migran) dalam perancangan dan pengusulan kebijakan mengenai buruh migran Indonesia. Tetapi karena Kemenaker adalah pihak yang mempunyai kewenangan membuat regulasi, usulan-usulan progresif BNP2TKI mentok di Kemenaker.
Eksekusi mati terhadap 2 PRT Migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia (Siti Zaenab dan Karni) secara berturut-turut pada bulan April 2015 tentu merupakan tamparan keras dan tantangan dari perwujudan cita-cita menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran. Meski kasus-kasus hukuman mati terhadap buruh migran adalah akumulasi dan warisan kasus-kasus dari lemahnya komitmen perlindungan pemerintahan sebelumnya, namun pemerintahan Jokowi-JK tetap harus bertanggungjawab atas situasi tersebut.
Upaya pembelaan pemerintah RI terhadap buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri terbentur dengan sistem hukum di dalam negeri yang masih menerapkan hukuman mati. Hingga bulan April 2015, pemerintah RI telah mengeksekusi mati 14 terpidana mati kasus narkoba dan pembunuhan. Langkah diplomasi tingkat tinggi yang dilakukan Presiden Jokowi dengan Raja Saudi Arabia pada awal bulan September 2015 untuk pembebasan PRT Migran dari hukuman mati patut dipresiasi. Namun langkah ini akan sia-sia jika tidak ada langkah progresif pemerintah Indonesia untuk mengakhiri praktek pemidanaan hukuman mati.
Hingga setahun pemerintahan Jokowi-JK juga belum kunjung secara proaktif dalam mengimplementasikan Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (yang telah diratifikasi dengan UU No. 6/2012) serta masih enggan untuk menyusun peta jalan menuju Ratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT.
Atas situasi seperti tersebut diatas, Migrant CARE menyatakan bahwa sepanjang satu tahun pemerintahan Jokowi-JK masih jauh (belum on the track) dalam mewujudkan visi-misi Nawacita menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran Indonesia. Pemerintahan Jokowi-JK harus benar-benar serius untuk membenahi politik perburuhan yang masih tuna perlindungan untuk melengkapi politik luar negeri Indonesia yang sudah “on the track” memprioritaskan perlindungan warga negara. Ini juga harus didukung oleh politik perlindungan HAM yang konsisten menuju peta jalan penghapusan pidana mati di Indonesia.
Jakarta, 20 Oktober 2015
Anis Hidayah
Direktur Eksekutif
081578722874/@anishidayah
Wahyu Susilo
Analis Kebijakan
08129307964/@wahyususilo