Statistik Kasus di Indonesia
Indonesia adalah negara aktif untuk masalah perdagangan manusia pada pekerja migran laki-laki, perempuan, dan anak, selain itu Indonesia juga menyumbang angka yang tinggi untuk pekerja migran tidak berdokumen di wilayah Asia Tenggara. Perdagangan manusia di Indonesia juga menyumbangkan jumlah korban yang banyak berasal dari daerah Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan.
Malaysia memegang angka tertinggi sebagai pelaku perdagangan untuk korban Indonesia, pada statistik 93,2% eksploitasi pekerja dan 89,7% eksploitasi seksual, diikuti Arab Saudi pada angka 2,4% eksploitasi pekerja. Secara keseluruhan, diestimasikan 2,6 juta pekerja migran Indonesia dipekerjakan di industri Malaysia untuk bekerja di domestik, industri seks, industri pertambangan, pertanian, dan perikanan. Lebih dari setengah industri Malaysia diisi oleh pekerja migran Indonesia. Situasi yang sama berlaku di Timur Tengah, hampir mencapai 1,5 juta pekerja migran Indonesia dengan mayoritas pekerja domestik mengalami eksploitasi di lingkungan kerja yang buruk.
Dari sampel yang dikumpulkan IOM Indonesia (Organisasi Internasional untuk Migrasi), terdata sejumlah 3.701 korban perdagangan manusia antara tahun 2005 dan 2010 dengan rincian 3.343 perempuan dan 358 lelaki dan dapat diartikan ada 90% perempuan dan 10% lelaki. Korban perdagangan manusia juga dapat diidentifikasi berdasarkan jenis pekerjaan seperti domestik (56,2%), pekerja seks (16%), dan pekerjaan di konstruksi, pabrik, pertanian, dan perikanan. Pemicu utama perdagangan manusia di Asia Tenggara adalah dorongan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik dan meningkatkan standard kehidupan.
Tipe eksploitasi (data 2013)
1. eksploitasi pekerja terjadi pada perempuan dan laki-laki dengan jenis pekerjaan di sektor perkebunan (4,6%), sektor konstruksi (2,1%), sektor pabrik (2,4%). Pekerja domestik baik perempuan dan anak-anak berasal dari 56,2% pekerja migran Indonesia, pelayan mayoritas perempuan berasal dari 2,4% pekerja migran Indonesia. Eksploitasi yang terjadi seperti kekerasan fisik, kekerasan psikologi, kekerasan seksual, gaji yang tidak dibayar, perampasan makanan dan air, tekanan ideologis untuk larangan beribadah dan tekanan mengonsumsi narkotika.
2. eksploitasi seksual terjadi pada 16% korban perdagangan perempuan Indonesia dan sebanyak 35% nya adalah anak perempuan. Demkian pula perempuan yang bekerja di industri seks mengalami kekerasan dan perampasan makanan dan air. Sementara anak perempuan yang bekerja di industry seks mendapat tekanan konsumsi narkotika dan alkohol.
Dampak pada korban perdagangan manusia
Dampak dari trauma seringkali pada kerusakan fisik dan psikologis korban. Korban biasanya menahan trauma psikologis yang terjadi saat proses investigasi dimana korban mengingat kembali peristiwanya. Selain itu kesulitan juga dirasakan pada proses pidana peradilan dimana korban menolak berpartisipasi karena rasa takut, stigma yang melekat pada dirinya, reviktimisasi, dan hilang kepercayaan pada sistim peradilan.
Kebutuhan dukungan berdasarkan usia dan jenis kelamin, dan industri
Layanan untuk korban perlu dibedakan berdasarkan gender, usia, dan jenis eksploitasi. Layanan yang berbeda-beda perlu menjadi perhatian seperti dalam contoh kasus berikut ini, korban perempuan tidak terbuka untuk menceritakan jadual menstruasi, hasil tes HIV, kelahiran yang tidak diinginkan, paksaan aborsi, dan berbagai pengalaman yang terkait sistem reproduksinya. Sementara korban lelaki seringkali diabaikan dari layanan dukungan akibat kesalahpahaman dalam mengartikan lelaki sebagai immigrant illegal sementara perempuan dan anak sebagai korban perdagangan.
Tidak dapat dipungkiri layanan untuk korban masih mengutamakan perempuan dan anak. Kesalahpahaman ini mendorong situasi korban lelaki tidak mencari layanan untuk kelompok mereka. Oleh karena itu, layanan juga perlu mengakomodasi situasi yang dialami korban lelaki. Situasi lainnya ialah layanan untuk korban anak yang banyak bermasalah pada perkembangan diri dan komplikasi kesehatan akibat mengonsumsi narkotika dan mengalami kekerasan seksual.
Penulis: Sharon Hiew, ACICIS Intern