Siaran Pers Migrant CARE Memperingati Hari Buruh Migran Sedunia 2014

Saatnya Negara Hadir Dalam Melindungi Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya

Hari ini, 18 Desember 2014 diperingati sebagai hari buruh migran sedunia sejak PBB menetapkan Konvensi Internasional tahun 1990 tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Konvensi ini lahir dari sejarah perdebatan panjang di PBB untuk merespon kondisi perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa buruh migran di berbagai negara. Hingga saat ini, konvensi ini telah diratifikasi oleh 47 negara, termasuk Indonesia dan ditandatangani oleh 38 negara.

Selama 10 tahun pemerintahan SBY berkuasa meninggalkan warisan perbudakan yang sungguh nyata. Hal ini bisa dilihat dalam Global Slavery Index 2014, dimana tahun ini posisi Indonesia makin mengarah ke peringkat yang buruk menjadi 102 dari 167 negara (http://www.globalslaveryindex.org/country/indonesia/). Yang lebih memprihatinkan lagi, dalam GLOBAL SLAVERY INDEX 2014, Indonesia masuk sebagai 10 besar (tepatnya peringkat 8) negara dengan jumlah korban perbudakan modern terbanyak di dunia (dari 167 negara). Negara-negara yang masuk kategori ini adalah India, China, Pakistan, Uzbekistan, Rusia, Nigeria, Kongo, Indonesia, Bangladesh dan Thailand. Dalam jangka waktu satu tahun, jumlah warga negara Indonesia yang menjadi korban perbudakan modern yang tercatat meningkat lebih dari 300% !. Jika di tahun 2013 berjumlah 210,970 orang maka di tahun 2014 meningkat menjadi 714.300 orang.

Tiadanya upaya implementasi dari ratifikasi Konvensi Internasional tahun 1990 tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya selama 2 tahun lebih, membuktikan keputusan DPR dan Pemerintah Indonesia pada 12 April 2012 untuk meratifikasi konvensi buruh migran hanya pencitraan semata di mata masyarakat internasional. Kala itu Indonesia sebagai anggota dewan HAM PBB akan direview kondisi penegakan HAMnya dalam mekanisme UPR (Universal Periodic Review). Oleh karena itu ratifikasi tersebut belum memiliki dampak signifikan bagi jaminan perlindungan HAM bagi buruh migran. Sampai saat inipemerintah Indonesia tak kunjung melakukan harmonisasi konvensi tersebut dengan kebijakan nasional terkait buruh migran, terbukti UU nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan buruh migran hingga kini belum tuntas untuk direvisi.

Catatan Migrant CARE sepanjang tahun 2014menegaskan bahwa kerentanan buruh migran Indonesia menghadapi perbudakan dan pelanggaran HAM secara sistematis belum bergeser secara signifikan. Erwiana adalah salah satu bukti korban praktek perbudakan di negara modern, Hongkong yang selama ini diangap sebagai surag bagi buruh migran Indonesia. Bahkan pada awal kasus Erwiana muncul, kala itu BNP2TKI menyerukan agar kasus Erwiana diselesaikan secara kekeluargaan.

Pada tahun ini, Brigpol Rudy Soik, seorang anggota Polri yang jujur dan berintegritas juga mengungkap fakta-fakta perdagangan manusia di NTT yang selama puluhan tahun dibiarkan berlangsung. Dan karena keberaniannya ini, Brigpol Rudy dikriminalisasi dan ditahan karena kasus yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan kasus perdagangan manusia yang diungkap olehnya. Semestinya Mabes Polri menjadikan kasus perdagangan manusia di NTT sebagai pintu masuk untuk mengungkap praktek trafficking dan sindikatnya dalam penempatan buruh migran secara nasional.

Tahun 2014 juga tahun yang penuh duka, setidaknya empat kali kecelakaan kapal yang menenggalamkan buruh migran dan ABK. Setidaknya 146 buruh migran, termasuk ABK meninggal tenggelam di lautan baik di selat Malaka Malaysia mapun di selat Bering Rusia. Dan hingga kini upaya investigasinya masih belum tuntas.

Di penghujung tahun 2014, lagi, PRT migran Indonesia asal Batang Jawa Tengah menjadi korban pembunuhan secara sadis oleh majikannya, bahkan menurut beberapa sumber korban dimutilasi secara sadis di Malaysia. Kondisi ini menggambarkan bahwa belum ada upaya serius dari pemerintahan SBY selama 10 tahun berkuasa untuk memerdekakan PRT migran dari kondisi ini. Kondisi buruk ini mau tidak mau harus menjadi tanggungjawab dari pemerintahan Joko Widodo merealisasikan komitmen Nawacita “negara hadir” dalam memberikan perlindungan menyeluruh bagi buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya.

Warisan pekerjaan dari pemerintahan SBY yang harus menjadi tanggung jawab pemerintahan Jokowi, antara lain adalah:

1. Menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa buruh migran dan PRT migran, seperti kasus kekerasan seksual, perkosaan, penyiksaan, perdagangan manusia, dll
2. Menyelamatkan 262 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara
3. Melindungi dan memastikan hak-hak buruh migran yang tidak berdokumen yang rentan menghadapi razia, penangkapan, dan pengusiran

Secara menyeluruh, berikut adalah gambaran kondisi buruh migran pada tahun 2014:

1. Pelanggaran HAM (penyiksaan, gaji tidak dibayar, perkosaan, PHK, dll) berjumlah 15.345 orang
2. Terancam di razia, di tangkap, dan dideportasi di Malaysia berjumlah 320.000 orang
3. Korban perbudakan di berbagai negara berjumlah 714.300 orang
4. Terancam hukuman mati berjumlah 262 orang
5. Meninggal di lautan berjumlah 146 orang

Dengan demikian, total jumlah kasus buruh migran sepanjang 2014 dialami oleh 1.050.053 buruh migran Indonesia.

Hingga saat ini Migrant CARE masih menginventarisasi data-data kematian buruh migran Indonesia di kawasan Timur Tengah dan Asia Pacific yang selama ini datanya sulit diakses karena ketertutupan informasi, baik dari otoritas setempat maupun dari perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

Atas situasi tersebut, Migrant CARE mendesak agar:

1. Pemerintah Indonesia segera menuntaskan revisi UU buruh migran yang selama ini menjadi payung hukum bagi terjadinya praktek eksploitatif bagi buruh migran
2. Pemerintah indonesia meratifikasi Konvesi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga dan Protocol 2014 dari Konvensi ILO tentang Kerja Paksa serta segera mensyahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
3. Pemerintah Indonesia juga terbuka pada masyarakat sipil Indonesia dan masyarakat internasional untuk mewujudkan kesadaran public mengakhiri perbudakan modern dan mendesak pada sector untuk menerapkan norma dan standar bisnis yang menghormati hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender serta kelestarian lingkungan.

Selain itu, secara khusus Migrant CARE mendesak kepada Pemerintahan baru dibawah Presiden Joko Widodo untuk membuat peta jalan mengakhiri praktek perbudakan modern terhadap buruh migran Indonesia dengan:

1. Mengakhiri era penempatan buruh migran yang berbasis pada monopoli PPTKIS dan berbiaya tinggi dan menggantinya dengan tata kelola penempatan dan perlindungan buruh migrant sebagai aktivitas pelayanan publik
2. Mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sebagai instrument diplomasi, panduan pembaharuan legislasi dan panduan kerjai nstitusi negara yang terkait masalah penempatan dan perlindungan buruh migran
3. Mengakhiri praktek-praktek kriminalisasi terhadap semua pihak yang selama ini aktif dalam membela dan membongkar sindikat perdagangan orang, khususnya Brigpol Rudy Soik yang saat ini di tahan dan diadili.

Jakarta, 18 Desember 2014

Anis Hidayah /Direktur Migrant CARE

081578722874/ @anishidayah

Wahyu Susilo/ Policy Analyst Migrant CARE

08129307964/@wahyususilo

TERBARU

One Response

  1. Many of you here don’t get it. Administrative amnesty means a Presidential dolaarctien of amnesty. The next day, everything changes. They will be able to legally vote for amnesty..again and again. They will have the demographic clout to impose their will on White America. King Jorge Bush gave Anne Dunhams’ son the legal right to be a defacto Monarch with the divine right of a King.A very dangerous situation could-will emerge when reality sets in. Millions of White Americans will have their fate in the hands of nonwhites. This is not just talk. White Americans will experience the loss of self-determination every day they wake-up. It’s not childs play any more. It’s as real as real can get.