PERNYATAAN SIKAP MIGRANT CARE UNTUK PERINGATAN HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL 2025
Pekerja Perempuan Indonesia Masih Terenggut Hak dan Kedaulatannya, Penguasa Berpesta Pora Mempermainkan Kekayaan Negara
Setiap tanggal 8 Maret selalu diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia sebagai bentuk pengakuan perjuangan perempuan dalam upaya melepaskan diri dari penindasan dan ketidakadilan. Pada peringatan Hari Perempuan Sedunia tahun 2025 ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil tema “For All Women and Girls: Rights, Equality, and Empowerment.” Tema ini menekankan keadilan untuk perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan hak, kesetaraan, dan pemberdayaan. Tema ini masih sangat relevan dengan situasi nasional, regional, maupun global yang masih belum sepenuhnya berpihak pada perempuan dan rakyat miskin. Kondisi politik global mempunyai kecenderungan mengabaikan hak perempuan ditandai dengan menguatnya kembali kelompok kanan populis-konservatisme, masifnya peperangan, hingga kebijakan anti migran yang membuat pekerja perempuan sebagai pihak yang paling terdampak buruk.
Perempuan pekerja migran Indonesia hingga saat masih dibayang-bayangi oleh situasi kekerasan, penipuan hingga perdagangan orang. Situasi kejahatan kriminal melalui siber sebagai modus baru perdagangan orang semakin berkembang dan memanfaatkan kerentanan perempuan untuk tindak pidana penipuan daring (online scam, love scam) serta masuk dalam jerumus perkawinan semu (mail bride order). Masifnya kejahatan ini juga saling berkelindan dengan situasi keamanan yang kian memburuk di wilayah asia tenggara tepatnya di Kamboja, Laos dan Myanmar. Beberapa temuan kami menunjukkan, perempuan korban perdagangan orang ini dipaksa untuk melakukan tindak pidana (forced criminality) dengan ancaman kekerasan hingga perkosaan. Sayangnya, situasi yang kian buruk ini disokong akibat minimnya kebijakan kerja layak yang ada di Indonesia yang mengakibatkan situasi lapar kerja.
Indonesia baru saja melalui tahun politik dengan pemilu yang penuh kecurangan akibat pengingkaran konstitusi. Pemilu 2024 juga masih tetap meminggirkan perempuan pekerja migran sebagai konstituen utama suara luar negeri. Penyelenggaraan Pemilu Indonesia masih jauh dari kata memadai bagi para perempuan pekerja migran mengaspirasikan suaranya pada konstituennya di dewan perwakilan rakyat. Pemilihan umum Indonesia di luar negeri misalnya, secara berulang dari tahun 2014, 2019, dan 2024 masih belum menyediakan daerah pemilihan khusus luar negeri sebagai jembatan aspirasi perempuan pekerja migran untuk mendapatkan haknya. Memasukkan wilayah luar negeri dalam daerah pemilihan Jakarta II adalah kebijakan yang keliru karena permasalahan warga Jakarta tentunya akan berbeda dengan permasalahan perempuan pekerja migran Indonesia di seluruh dunia. Perempuan pekerja migran dibiarkan berjuang sendiri untuk nasibnya.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja saat ini tercatat sudah mencapai 80.000 orang. PHK besar-besaran PT. Sritex yang terjadi baru-baru ini pasti bukan yang pertama, tetapi akan disusul dengan gelombang PHK selanjutnya. Korban terbesar PHK di sektor ini adalah pekerja perempuan Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan kerapuhan fondasi ekonomi nasional saat ini. Negara telah gagal menghadirkan kerja layak bagi warganya, ini sekaligus memperkuat tesis kami bahwa ada situasi lapar kerja yang melanda pasca situasi krisis pandemi Covid-19. Beberapa waktu lalu, situasi kelesuan ini kembali menyeruak melalui tagar #kaburajadulu sebagai bentuk kekecewaan orang muda pada situasi nasional hari ini. Namun melalui #kaburajadulu juga mempunyai kerentanan pada tindak pidana perdagangan orang.
Rencana Kementerian Pelindungan Pekerja MIgran (KP2MI) yang menargetkan pengiriman pekerja migran sebanyak 400.000 pekerja migran Indonesia memperlihatkan wajah asli negara sebagai pemerah keringat pekerja migran Indonesia yang mayoritas perempuan. Besarnya pengiriman pekerja migran ini hanya didasarkan pada keinginan peningkatan remitansi semata tanpa mempertimbangkan tata kelola migrasi Indonesia yang masih buruk.
Di lain sisi, KP2MI nampaknya enggan merekognisi peran perempuan pekerja migran Indonesia yang bekerja di ranah pekerja domestik seperti pekerja rumah tangga. Ini terlihat pada beberapa kali statemen kementerian yang menganggap pekerja rumah tangga sebagai low skill dan harus dikurangi jumlahnya. Padahal pekerja rumah tangga migran menduduki angka yang paling signifikan dibandingkan sektor perkebunan atau sektor lainnya. Sikap diskriminatif ini berpotensi merenggut hak perempuan untuk berdaya dan bekerja sebagai pekerja migran.
Upaya mendiskriminasi peran perempuan pekerja migran sektor rumah tangga tidak saja terjadi pada perempuan yang bekerja ke luar negeri. Perempuan pekerja rumah tangga juga sampai saat ini masih menantikan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah lebih dari 20 tahun belum disahkan sebagai payung hukum perlindungannya. Rezim saat ini nampaknya mengarah pada rezim yang melanggengkan upah murah dan nir pelindungan pada pekerja, khususnya pekerja perempuan.
Oleh karena itu, peringatan Hari Perempuan Sedunia tahun 2025 bukan sekedar untuk dirayakan, tetapi harus menjadi momentum untuk marah dan menyatukan perlawanan pada ketidakbecusan para penguasa yang berpesta-pora atas kekayaan negara namun membiarkan kemiskinan merajalela, PHK terjadi dimana-mana dan melanggengkan penindasan pada segenap kaum perempuan Indonesia.
Selamat Hari Perempuan Sedunia 2025