Pemilu 2024 Telah Gagal Menjadi Investasi Politik Bagi Kesetaraan Gender, Kemajuan Perempuan Indonesia dan Semakin Meminggirkan Pekerja Migran Indonesia
8 Maret 2024, dunia memperingati International Women’s Day sebagai bentuk pengakuan perjuangan perempuan dalam upaya melepaskan diri dari penindasan dan ketidakadilan. Tahun ini, Perserikatan Bangsa – Bangsa menetapkan tema bertajuk “Berinvestasi pada Perempuan untuk Mempercepat Kemajuan”. Tema ini berbasis pada keprihatinan global bahwa kesetaraan gender baru akan terwujud 300 tahun lagi jika tidak ada upaya yang sungguh serius. Dunia juga masih menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan karena epidemi kekerasan berbasis gender. Pandemi, krisis akibat perang, perubahan iklim, dan penyalahgunaan teknologi makin memperparah situasi ini.
Investasi untuk kesetaraan gender dan kemajuan perempuan tentu tidak hanya dimaknai dalam bentuk pembiayaan dan alokasi sumberdaya dalam pembangunan. Investasi tersebut juga bisa berupa dukungan komitmen politik bagi agenda kemajuan Perempuan salah satunya melalui Pemilihan Umum.
Sayang sekali, pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia yang baru saja berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024 masih jauh dari harapan mendukung kemajuan perempuan Indonesia dan kesetaraan gender. Sebagai sebuah mekanisme kontestasi politik untuk sirkulasi kekuasaan pemerintahan dan perwujudan kesejahteraan, Pemilu 2024 mengandung cacat etika dan mencederai konstitusi.
Dalam konteks kesetaraan gender dan kemajuan Perempuan, penyelenggara pemilu 2024 bukan hanya gagal mewujudkan agenda peningkatan kuota keterwakilan perempuan di parlemen tetapi telah menggagalkannya karena KPU RI tidak mematuhi Putusan Mahkamah Agung dan DKPP mengenai kewajiban memperbarui Peraturan KPU RI yang mencerminkan prinsip keterwakilan perempuan dalam penetapan Daftar Calon Tetap DPR RI. Peristiwa ini juga menunjukkan ketersungkuran dari upaya kesetaraan hak politik perempuan yang selalu diwujudkan oleh perempuan sendiri. Instrumen hukum dan aturan main pemilu menjelma begitu maskulin dan mematahkan landasan kesetaraan hak politik yang telah dibangun sekian dekade lamanya.
Dalam perjalanan penyelenggaraan pemilu 2024, penyelenggara pemilu 2024 (KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP) juga telah gagal mencegah terjadinya pelanggaran dan kecurangan pemilu yang berbasis dari praktik politik maskulin yaitu penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan, politisasi bantuan sosial serta intimidasi politik. Operasi politik maskulin inilah yang menyebabkan adanya ketidakpercayaan publik terhadap hasil – hasil pemilu. Pemilu telah kehilangan legitimasi moral politik dan etis.
Dalam perspektif pemenuhan hak politik pekerja migran Indonesia, pemilu 2024 juga tidak memberikan harapan bagi upaya pemajuan dan pelindungan pekerja migran Indonesia. Pemilu 2024, seperti pemilu-pemilu sebelumnya, berkontribusi secara lebih brutal memarjinalisasi agenda perlindungan pekerja migran Indonesia. Penyelenggara pemilu masih mempertahankan wilayah elektoral luar negeri sebagai bagian dari Daerah Pemilihan Jakarta II. Padahal wilayah elektoral luar negeri memiliki aspirasi politik khusus yang berbeda dengan karakter Daerah Pemilihan Jakarta II. Tidak ada kedekatan agenda politik yang coba diwujudkan dan disalurkan wakil rakyat dengan konstituennya, terutama dengan locus konstituen yang tidak proporsional seperti antara wilayah Jakarta dan luar negeri. Ini kemudian tercermin dalam minimnya rekognisi dari negara terhadap sumbangsih perempuan pekerja migran dan skema perlindungannya.
Carut marut tata kelola dan penyelenggaraan Pemilu Indonesia di luar negeri mengakibatkan ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang Sebagian besar adalah Perempuan kehilangan hak pilihnya. Peminggiran posisi perempuan dalam pemenuhan hak politiknya tampak lebih nyata dalam pengalaman perempuan pekerja migran. Perempuan pekerja migran sebagai mayoritas pemilih luar negeri bukan hanya sengaja ditinggalkan, namun suaranya kerapkali dimanipulasi dan digunakan sebagai transaksi dalam politik.
Di Hong Kong terdapat sekitar 95.901 PRT migran Indonesia tidak bisa memberikan suaranya dalam pemilu Indonesia karena penyelenggara pemilu secara sepihak mengubah metode dari TPS ke metode pos serta tidak maksimalnya sosialisasi yang menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu. Dari keseluruhan total DPT Hong Kong, hanya sekitar 41.73% pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Rendahnya penggunaan hak pilih bukan karena para perempuan pekerja migran tidak ingin berpartisipasi dalam proses pemilu. Aturan teknis nan positivistik kental dirasakan dalam pelaksanaan pemilu Hong Kong sehingga jauh dari capaian pemilu yang substantif. Melalui metode pos ini juga terjadi dugaan pemborosan anggaran negara dengan jumlah yang fantastis. Ada sekitar 9,42 Miliar Rupiah lebih anggaran distribusi logistik terbuang sia-sia akibat ketidakakuratan data sehingga menyebabkan surat suara resend to sender dan tidak kembali pada penyelenggara pemilu. Kami mendengar nasionalisme secara lebih lantang pada perempuan pekerja migran di Hongkong, namun ke-diam-an penyelenggara pemilu terasa begitu memekakkan telinga.
Di Taipei terdapat 175.145 PRT migran dengan DPT Pos, namun hanya sekitar 25% saja yang menggunakan hak pilihnya. Dalam asumsi pemborosan anggaran negara, metode pos anehnya selalu dipilih meskipun terjadi pemborosan sebesar 13.4 Milyar Rupiah. Belum lagi dengan 31.276 surat suara yang dianggap tidak sah karena dikirim sebelum jadwal. Di Singapura terdapat 34.638 PRT migran Indonesia juga kehilangan hak pilihnya karena kesemrawutan metode pos. Hingga hari pemungutan suara, banyak diantara mereka tidak menerima kiriman pos/surat yang harus dicoblos. Penyelenggara pemilu juga tidak memahami bahwa penetapan hari pemungutan suara yang berdekatan dengan hari raya Imlek menyebabkan banyak PRT migran tidak bisa mendatangi TPS untuk memberikan suaranya, karena harus melayani majikannya.
Di Malaysia, akibat kinerja PPLN Kuala Lumpur yang telah dengan sengaja memanipulasi DPT LN sehingga tidak akurat, mengakibatkan hasil pemungutan suara baik melalui kotak suara keliling, pos, dan TPS pada periode 5 – 11 Februari 2024 dibatalkan dan dilakukan pemungutan suara ulang. Akibatnya, sekitar 370 ribu suara pekerja migran Indonesia yang sebagian besar Perempuan, terancam hangus, karena DPT hasil perbaikan hanya berjumlah 62 ribu pemilih. Jumlah ini hanya 13,9% dari DPT semula yang berjumlah sekitar 446.258 pemilih.
Situasi tersebut memperlihatkan bahwa Pemilu 2024 telah gagal menjadi instrumen politik untuk memajukan agenda politik kesetaraan gender dan kemajuan Perempuan Indonesia. Pemilu 2024 juga semakin menjauhkan pekerja migran Indonesia yang mayoritas Perempuan dari partisipasi politik yang bermakna. Mari eratkan genggaman kita, dalam satu perjuangan nilai, menuju kesetaraan!
Selamat Hari Perempuan Sedunia!!!