Catatan Awal Migrant CARE: Kerawanan Penyelenggaraan Pemilu 2024 di Luar Negeri, Ancaman Hak Terhadap Demokrasi Pekerja Migran Indonesia

Hasil pemantauan dari Migrant CARE dan organisasi pekerja migran Indonesia di luar negeri menemukan sejumlah permasalahan signifikan dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Pemantauan di tahapan ini berfokus pada proses distribusi surat suara pada pekerja migran. Catatan awal ini memperlihatkan rentetan masalah yang dialami dan ancaman terhadap hak demokrasi masyarakat Indonesia, khususnya pekerja migran di luar negeri.

Pemantauan ini dilakukan di empat negara dengan jumlah populasi pekerja migran terbanyak, antara lain Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia. Catatan  dihimpun langsung dari sejumlah pernyataan kelompok pekerja migran dan aduan terkait pembagian kertas suara di laman media sosial milik PPLN di negara setempat. Pekerja migran Indonesia di negara-negara tersebut berhak mendapatkan surat suara dan terdaftar sebagai DPT LN. Namun dalam kenyataannya mayoritas pekerja migran dipersulit untuk mendapatkan hak untuk memilih dalam kontestasi Pemilu 2024. Dalam pemantauan di media sosial, mayoritas aduan datang dari pekerja migran yang belum kunjung mendapatkan suara menjelang hari pemilihan berlangsung.

”Dalam empat wilayah ini, kesemuanya di dalam komentarnya mengeluhkan hal yang sama, terkait bagaimana suaranya belum terdistribusikan dengan baik ataupun DPT LN-nya juga bermasalah padahal ia sudah mendaftar lebih dahulu” – Ujar Trisna Dwi Aresta, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care 

Kecurangan pemilu terus menjadi isu serius, terutama dalam konteks pemilu luar negeri. Kecurangan tersebut dapat merusak integritas dan legitimasi proses demokratisasi. Untuk mengatasi hal ini, peran masyarakat sipil sebagai pemantau pemilu luar negeri menjadi semakin krusial. Pemantauan oleh kelompok masyarakat sipil tidak hanya memberikan transparansi, tetapi juga menjadi benteng utama dalam menjaga keberlangsungan proses demokrasi. Migrant CARE sebelumnya sudah melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi di tahun 2014 tentang DPT Luar Negeri yang seharusnya memiliki hak pemilihan tersendiri dan tidak perlu tergabung dalam wilayah pemilihan Jakarta II. Hal ini mengingat ada beberapa prinsip yang dilanggar dalam DPT ini, yaitu asas proporsionalitas, integrasi wilayah, berada di daerah wilayah yang sama, konsep kohesivitas, dan konsep penambungan, semuanya tidak tercapai dalam prinsip-prinsip ini mengenai ketetapan daerah pemilihan luar negeri. Namun hingga kini permasalahan tentang DPT luar negeri tidak diindahkan oleh Komisi Pemilihan Umum sendiri.

Seringkali isu tentang pekerja migran dinomor duakan oleh pemerintah Indonesia, termasuk dalam kontestasi Pemilihan Umum. Jumlah DPT luar negeri kian tahun kian menurun dan berbanding terbalik dengan data pengiriman pekerja migran ke luar negeri. Jika dibandingkan dengan jumlah data pemilih tetap pada Pemilu 2019 yang berjumlah 2.086.285 orang, jumlah ini menurun drastis pada jumlah DPT Pemilu 2024 hanya 1.750.474 orang. Jumlah ini mengancam hak politik pekerja migran yang berpotensi kehilangan hak pilihnya di luar negeri.

Di tahun 2024, KPU memutuskan untuk menyelenggarakan proses pemungutan suara dengan tiga metode, yaitu TPS, Pos, dan Kotak Suara Keliling. Namun jadwal pemungutan suara yang ditetapkan oleh KPU dinilai tidak tepat oleh sebagian pihak. Pasalnya, dari keempat negara tersebut menjadwalkan proses pemungutan suara berdekatan dengan perayaan hari besar Imlek. Mayoritas pekerja domestik akan kesulitan untuk berkontribusi langsung untuk memilih di lokasi TPS yang disediakan karena pekerjaan di hari libur tersebut akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan izin dari majikan.

Hal tersebut senada dengan pernyataan perwakilan Indonesian Family Network Singapura, Sammy Gunawan mengungkapkan “Kami pekerja migran belum tentu dapat berpartisipasi pada hari itu karena majikan belum tentu memberikan fasilitas tersebut.. Kalaupun kita mau mengubah dengan metode pos masih harus keluar rumah untuk mendaftar di pos”. Pekerja migran Indonesia di Singapura sangat menyayangkan keputusan KPU yang menjadwalkan pemungutan suara ini. 

Sebagian besar pekerja migran akhirnya memilih untuk mengirimkan surat suara melalui metode pos, proses ini dinilai lebih rentan terhadap bentuk kecurangan dan penyalahgunaan surat suara. Menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin, KPU saat ini tidak mengedepankan perundang-undangan sebagai dasar tindakan penyelenggaraan pemilu. Seharusnya penyelenggaraan Pemilu dilakukan berdasarkan asas Luber Jurdil, yang dimana semua wilayah dan ruang waktu harus berlaku sama. Ia beranggapan bahwa keputusan yang tidak berdasarkan pada peraturan akan sangat rentan pada penyalahgunaan dan kecurangan pemungutan suara.

Para pekerja migran tidak pernah diberikan edukasi dan sosialisasi tentang Pemilihan Umum sejak awal, hal ini diakui oleh Sringatin Ketua Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hong Kong. Ia mengungkap perubahan metode pemungutan suara ini sangat merugikan pekerja migran yang memiliki antusias tinggi untuk terlibat dalam pemungutan suara. ” Tidak ada informasi untuk pekerja migran di Hongkong bahwa pemungutan suara dilakukan melalui pos, dan dan itu mengejutkan kita semua” ujarnya.

Kinerja PPLN dinilai tidak cermat dalam mengirimkan surat suara untuk pekerja migran di Taiwan. Perwakilan dari Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (Ganas Community), Fajar mengungkapkan bahwa pekerja migran di Taiwan mengkhawatirkan keamanan surat suara saat proses distribusi. ” Ada banyak sekali yang belum mendapatkan surat suara, majikan saya menerima tiga surat suara untuk para pekerja yang tidak lagi bekerja dirumah tersebut. Ada juga majikan yang menerima 10 surat suara yang berbeda sehingga memunculkan konflik baru antara majikan dan pekerja migran yang dianggap menyebarkan alamat tanpa izin” ujarnya dalam telekonferensi. Menyebarkan alamat tanpa izin adalah sebuah pelanggaran menurut hukum yang berlaku di Taiwan, dan kelalaian PPLN ini sangat merugikan pekerja migran.

Catatan pemantauan ini dapat mengidentifikasi dan mendokumentasikan kecurangan, memberikan tekanan moral kepada pihak-pihak yang terlibat, serta memperkuat panggilan untuk reformasi demokratis.

TERBARU