Dalam rangka memperingati hari buruh sedunia yang jatuh pada 1 Mei lalu, para Pekerja Migran Indonesia, purna migran dan pemerhati isu-isu perlindungan pekerja migran di berbagai belahan dunia menyelenggarakan pentas pembacaan puisi virtual yang ditujukan sebagai bentuk solidaritas kepada para pejuang COVID-19. Bertajuk ‘Pentas Puisi Pekerja Migran’ acara ini disiarkan langsung melalui akun Facebook Migrant CARE.
Selain untuk menggalang dukungan publik pada upaya-upaya memerangi wabah COVID-19, pentas ini juga dimaksudkan untuk mengingatkan Pemerintah Indonesia agar tidak melupakan perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari COVID-19 dan dampak ekonominya. “Pekerja Migran Indonesia, baik yang terjebak di luar negeri, yang sedang dalam proses pemulangan, yang gagal berangkat mau pun anggota keluarganya di desa adalah kelompok yang rentan menerima dampak buruk dari situasi saat ini. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus,” ucap Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE.
Arumy Marzudhy, mantan PMI di Singapura memiiki pengalaman unik dalam kepulangannya kali ini. “Kepulangan seorang Perantau di tengah Pandemi Covid-19 ini sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa menegangkan. Sangat berbeda dengan kepulangan-kepulangan saya sebelumnya, dimana selalu diisi dengan perasaan gembira akan bertemu dengan keluarga. Tetapi kepulangan saya kali ini dihantui perasaan waswas, bagaimana kalau saya menjadi salah seorang pembawa virus?” tuturnya. Arumy memutuskan pulang ketika ada himbauan dari Kementerian Luar Negeri terkait penyebaran Covid-19. “Saya ingat pertengahan Maret lalu, ketika kasus Covid-19 di Indonesia sudah mencapai lebih dari 100, Kemenlu mengeluarkan himbauan kepada pemegang visa turis untuk segera pulang. Kebetulan waktu itu saya berada di Phuket (Thailand) dengan visa turis, mengikuti majikan saya yang pindah kesana dan membantu sebentar sekitar dua minggu sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia,” tambahnya.
Sesampainya di kampung halaman, Arumy harus menghadapi stigma negatif dari masyarakat. “Karena TKI identik dengan stigma-stigma buruk, di tengah wabah seperti ini terasa makin menguat. Saya sempat didatangi TNI-Polri karena ada pengaduan masyarakat bahwa saya pulang. Padahal saya sudah dicek oleh bidan desa dua hari sekali, memastikan saya selalu dirumah, dan saya selalu di rumah,” ujar Arumy. Selain stigma negatif, ia juga tak luput dari dampak ekonomi. Meski sudah menyisihkan penghasilannya untuk modal usaha, Arumy mengaku tetap sulit menjalankannya di tengah situasi seperti saat ini. “Saya berusaha menyisihkan penghasilan saya untuk modal usaha, tetapi tetap saja di masa seperti ini semua usaha terdampak,” ucapnya.
Di tengah situasi yang tidak pasti, pentas puisi ini diselenggarakan untuk menghidupkan kembali sastra serta menyemangati mereka yang berjuang memerangi wabah COVID-19. Mega Vristian, pegiat sastra yang pernah menjadi PMI di Hong Kong, menginisiasi kegiatan ini dengan harapan dapat membangkitkan geliat sastra di kalangan Pekerja Migran Indonesia. “Beberapa waktu yang lalu muncul inisiatif literasi di kalangan pekerja migran. Kegiatan ini mendorong kebangkitan ekspresi budaya pekerja migran, muncul karya-karya sastra pekerja migran dalam bentuk puisi, novel dan esai. Bahkan beberapa diantaranya diterbitkan penerbit umum dan banyak dibaca khalayak ramai,” terangnya.
Salah satu pembaca puisi adalah Anissa Savitri, mantan PMI di Malaysia yang aktif menulis puisi dan cerita pendek ini membacakan puisi karangannya sendiri berjudul Bungkam. Anissa mengaku puisinya terinspirasi dari para pekerja kilang di Bangi, Selangor, yang hak-haknya dirampas oleh perusahaan tempat mereka bekerja. “Saat itu saya dan rekan dari union membantu mereka untuk daftar union agar mereka mendapat perlindungan. Tapi dalam usaha kami membantu mereka itu dihalangi oleh perusahaan, bahkan sampai mendapat ancaman. Mereka (pekerja kilang ) benar-benar tertindas, jika mereka melakukan kesalahan sedikit saja, bonus (imbalan) mereka dipotong banyak, tidak sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan,” kenangnya.
Salah seorang pembaca lainnya adalah Joss Wibisono. Penulis Indonesia yang telah lama berkediaman di Amsterdam, Belanda ini menceritakan kesan di balik puisi yang dibacakannya. Ia membacakan puisi Nyanyian Abang Becak karya Wiji Thukul. “Saya ingat betul waktu Wiji Thukul membacakannya, Arif Budiman sangat terpukau. Ada puisi seperti ini, puisi yang ditulis oleh orang biasa dan berkisah tentang apa yang selama ini dicita-citakan oleh Arif Budiman yaitu masyarakat yang berwelas asih pada kalangan biasa,” tuturnya. Puisi bukan hanya menjadi medium ekspresi, tetapi juga medium perlawanan di tengah keadaan yang menyengsarakan kemanusiaan. Laiknya kita hari ini yang masih melawan, pandemi dan lainnya.
Berikut adalah nama-nama mereka yang turut membacakan puisinya pada Hari Buruh 2020:
- Wahyu Susilo (Aktivis Migrant CARE)
- Arumy Marzhudy (Mantan PMI Singapura)
- Maria Bo Niok (Penulis, Mantan PMI Hong Kong)
- Priyambudhi Sulistiyo (Pengajar di Flinders University, Australia)
- Yacinta Kurniasih (Pengajar Sastra di Melbourne University, Australia)
- Fajar Santoadi (Aktivis Tenaganita, Malaysia)
- Sakban Rosidi (Pengajar Sastra di Malang)
- Annisa Savitri (Penulis, Mantan PMI Malaysia)
- Ichal Supriadi (Aktivis ADN, Bangkok)
- Sonya Hellen (Jurnalis Kompas)
- Paschalis (Rohaniawan di Batam, Kepri)
- Nessa Kartika (Penulis, Mantan PMI Hong Kong)
- Noor Huda (Peneliti dan penggagas Ruang Migran, Singapura)
- Joss Wibisono (Penulis, Amsterdam)
- Buyung Ridwan (Aktivis IMWU Netherland)
__________________
Sastra Migran merupakan inisiatif kolektif dari Pekerja Migran Indonesia di berbagai negara, eks-migran, aktivis, dan pegiat isu yang mencintai sastra dan ingin menghidupkan kembali sastra pekerja migran. Pentas virtual mulai digiatkan pertama kali dalam peringatan hari buruh, 1 Mei 2020. Karya dan kegiatannya dapat dilihat dalam akun instagram @sastramigran dan youtube channel: Sastra Migran.