Mendesak Menaker Mengevaluasi Kinerja Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur dalam Penanganan Kasus Iclean

Sebanyak 8 perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) oleh Perusahaan IClean Services Sdn Bhd di Malaysia, akhirnya dipulangkan ke Bandara Soekarno Hatta pada Kamis, 13 Februari 2020 pukul 19.25 waktu setempat. Pemulangan (deportasi) dilakukan setelah sekitar 1 bulan 5 hari para pekerja ditahan di Tahanan Imigrasi Semenyih Malaysia.

Selama penerbangan Kuala Lumpur – Jakarta, 8 perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tersebut didampingi oleh perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur. Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta, mereka diterima oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Beberapa kejanggalan ditemukan oleh Migrant CARE, bahwa ternyata 8 PMI korban indikasi TPPO langsung menerima tiket kepulangan dari BP2MI dengan tujuan ke daerah masing-masing dengan jadwal penerbangan keesokan harinya. Untungnya, pemulangan tersebut segera dibatalkan oleh Kemenaker dengan tujuan dirujuk ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) untuk dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan pemulihan.

Selama di RPTC, Migrant CARE terus melakukan kunjungan, pendampingan dan penguatan kepada 8 PMI korban indikasi TPPO tersebut. Berdasarkan keterangan dari para korban, bahwa pada tanggal 13 Januari 2020 telah dilakukan mediasi yang diinisasi dan difasilitasi oleh Jabatan Tenaga Kerja Malaysia, dihadiri oleh Perwakilan KBRI Kuala Lumpur serta perwakilan dari Perusahaan IClean Services Sdn Bhd. Hasilnya, Perusahaan IClean Services Sdn Bhd menyepakati untuk memberikan uang gaji dan kompensasi sebesar RM 85.100,19 (tuntutan awal sebesar RM 122.500) kepada 8 PMI yang menjadi korban.

Atas pemenuhan hak gaji dan kompensasi tersebut, KBRI Kuala Lumpur meminta mereka untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk menuntut Agensi (Perusahaan Iclean Services Sdn Bhd) dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (Perusahaan Bukit Mayak Asri dan Perusahaan Millenium Muda Makmur) dan kasus ini dianggap selesai. Padahal pemenuhan hak gaji dan kompensasi tersebut tidak sesuai dengan tuntutan korban.

Dalam proses pemenuhan hak gaji dan kompensasi, sebelum 8 PMI tersebut dipulangkan ke Indonesia mereka dibuatkan rekening bank yang difasilitasi oleh Perwakilan KBRI Kuala Lumpur untuk menyimpan hak gaji yang sudah didapatkan. Namun mereka tidak menerima buku rekening dan kartu ATM, mereka juga tidak melihat dan tidak memiliki bukti bahwa hak gaji dan kompensasi sudah masuk di rekening masing-masing. Bahwa saat pemeriksaan yang dilakukan oleh Kemenaker di RPTC, para korban menanyakan mengenai rekening banknya namun mereka belum juga menerima rekening tersebut.

Kejanggalan juga muncul, bahwa Kementerian Ketenagakerjaan yang menerima brafaks pemulangan dari KBRI Kuala Lumpur hanya memeriksa para korban melalui Bidang Pengawasan, tidak melibatkan Mabes Polri. Padahal 1 dari 8 PMI tersebut direkrut saat masih berusia 16 tahun. Bahwa pengiriman pekerja saat usia anak secara hukum langsung memenuhi unsur TPPO UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Migrant CARE terus mendorong agar Mabes Polri pro aktif namun beralasan tidak bisa melakukan pemeriksaan tanpa ada rekomendasi dari Kemenaker. Hal tersebut menunjukan lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan TPPO.

8 PMI korban indikasi TPPO akan dipulangkan ke daerah masing-masing pada Kamis, 20 Februari 2020. Mereka menolak pemulangan karena beberapa kejanggalan yang terus muncul. Bahwa para korban dijemput di RPTC dan didampingi oleh Kemenaker dan BP2MI pada pukul 03.00 WIB untuk perjalanan ke Bandara Soekarno Hatta. Namun selama perjalanan tersebut, para korban tidak mengetahui salinan tiket kepulangan yang berisikan informasi jadwal dan pesawat yang akan digunakan. Hal itu menunjukan tidak terimplementasinya pemenuhan hak informasi dan transparansi.

Migrant CARE yang juga mendampingi para korban di Bandara Soekarno Hatta, Kemenaker dan BP2MI membagikan buku rekening dan kartu ATM kepada 8 PMI. Segera setelah mereka menerima dan membuka amplop yang berisikan buku dan kartu ATM, mereka memeriksa kartu di mesin ATM untuk memastikan saldo tabungannya. Migrant CARE dan para korban menyaksikan bahwa ternyata rekening bank 6 korban ditemukan kosong, terbaca di layar mesin ATM, “saldo tabungan Rp 0”. Sedangkan 2 korban yang lain yang telah menerima pemenuhan hak gaji dan kompensasi di Kuala Lumpur saat mediasi di KBRI Kuala Lumpur dan dilanjutkan di Jabatan Tenaga Kerja Malaysia telah dapat mengakses kartu ATM dan memanfaatkan hak gaji tersebut sejak masih berada di Malaysia.

Kemenaker memberikan penjelasan yang cenderung tidak masuk akal dan bertele-tele dengan alasan hak gaji akan ditransfer oleh Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur setelah para PMI sampai ke daerah masing-masing yang dibuktikan dengan Berita Acara serah terima dan foto bersama di Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Daerah setempat.

Padahal para korban menyampaikan bahwa saat berada di Bandara KLIA, pendamping dari perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur menjelaskan bahwa para korban dapat langsung mengambil hak gaji tersebut. Namun ternyata para korban tidak langsung menerima kartu atm tersebut. Dan saat menerima di Bandara Soekarno Hatta, justru saldo ATM kosong.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut membuat beban semakin bertumpuk yang harus ditanggung oleh para korban. Hal itu juga membuat geram dan marah para korban yang merasakan tidak adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak di negara sendiri. Para korban menolak untuk dipulangkan ke daerah sebelum hak gaji terpenuhi. Dari pengalaman pekerja migran indonesia yang sebelum-sebelumnya, mereka yang dijanjikan akan menerima hak gaji di daerah ternyata gaji tersebut tidak ada. Permasalahan tersebut sering kali terjadi. Sehingga 8 PMI tidak akan pulang ke daerah sebelum hak gaji terpenuhi dan terbukti ada di rekening tabungan milik masing-masing korban.

Para korban yang malang terus melawan, mereka berdelapan dengan kuat menolak untuk dipulangkan ke daerah masing-masing. Bagaimana tidak, selama di Malaysia 8 PMI korban indikasi TPPO mengalami berbagai permasalahan penempatan kerja, pembayaran, dan besaran gaji yang tidak sesuai dengan kontrak kerja, tidak adanya penggantian uang kerja lewat jam kerja (uang lembur), terjadi penahanan dokumen dan pembatasan akses komunikasi, terbatasnya peralatan keselamatan kerja dan terjadinya kekerasan. Bahkan salah satu dari mereka direkrut saat berusia 16 tahun.

Mereka yang melapor ke Majlis Anti Pemerdagangan Orang dan Anti Penyelundupan Migran (MAPO) justru dikriminalisasi sehingga mereka harus ditahan di Tahanan Imigrasi Semenyih Malaysia. 8 PMI korban indikasi TPPO adalah korban yang justru dikriminalisasi, menghadapi diskriminasi hukum dan dijauhkan dari akses keadilan. Payahnya, ketika pulang ke negara sendiri, mereka harus mengalami berbagai kejanggalan, kesulitan dan ketidakberpihakan terhadap penjaminan pemenuhan hak-hak Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya.

Dengan segala lika liku dan luka yang masih membekas atas berbagai kejadian tersebut. Serta berbagai upaya yang dilakukan oleh para korban didampingi dengan Migrant CARE, akhirnya siang ini para korban telah menerima hak gaji dan kompensasi. Seharusnya, pemenuhan hak-hak Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya menjadi perhatian utama pemerintah!

Berkaitan dengan hal tersebut, Migrant CARE mendesak :

  1. Menteri Ketenagakerjaan menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak 8 perempuan Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya.
  2. Menteri Ketenagakerjaan untuk mengevaluasi kinerja Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur yang tidak memiliki keberpihakan terhadap pemenuhan hak-hak 8 perempuan Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya dan tidak secara profesional menangani kasus indikasi tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh Perusahaan Iclean Services Sdn Bhd.
  3. Menteri Ketenagakerjaan untuk mengevaluasi kinerja Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemenaker yang tidak mempunyai keberpihakan kepada 8 perempuan Pekerja Migran Indonesia korban indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  4. Mendorong proses hukum kasus indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilakukan oleh Agensi (Perusahaan IClean Services Sdn Bhd) dan Perusahaan Penempatan PMI (PT Bukit Mayak Asri dan PT Millenium Muda Makmur), khususnya yang memberangkatkan 1 PMI saat usia 16 tahun.
  5. Memperbaiki dan memperkuat koordinasi antar instansi pemerintah dalam upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya.

Jakarta, 20 Februari 2020

Narahubung:
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE (+62 812-9307-964)
Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant CARE (+62 815-7872-2874)
Alex Ong, Country Representative Migrant CARE Kuala Lumpur (+60 196-0017-28)
Nurharsono, Koordinator Bantuan Hukum Migrant CARE (+62 857-1424-6404)
Perwakilan Korban (+60 19-768 0588)

 

TERBARU