Mendesak Perlindungan Pekerja Migran atas Diskriminasi Hukum dan Dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang oleh Perusahaan IClean Services di Malaysia

Ilustrasi Tahanan - (Shutterstock.com)

Pada tanggal 23 November 2019, Migrant CARE Malaysia menerima pengaduan dari delapan perempuan Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di Malaysia. Mereka direkrut dan ditempatkan oleh perusahaan perekrut Pekerja Migran Indonesia PT Bukit Mayak Asri dan PT Millenium Muda Makmur ke perusahaan IClean Services Sdn Bhd di Malaysia. Para pekerja migran yang berasal dari Padang (Sumatera Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Sumba Timur, Nagakeo dan Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur) ini mengadukan situasi dan kondisi kerja mereka yang tidak layak.

Dari pengaduan tersebut ditemukan beberapa dugaan pelanggaran kontrak kerja yang dilakukan oleh perusahaan, antara lain penempatan kerja, pembayaran, dan besaran gaji yang tidak sesuai dengan kontrak kerja, tidak adanya penggantian uang kerja lewat jam kerja (uang lembur), terjadi penahanan dokumen dan pembatasan akses komunikasi, terbatasnya peralatan keselamatan kerja dan terjadinya kekerasan. Bahkan ditemukan praktik penempatan pekerja anak (di bawah umur), salah satu pekerja migran diberangkatkan saat berusia 16 tahun.

Berdasarkan uraian situasi kerja tak layak yang dialami para pekerja migran, maka diduga kuat perusahaan IClean Services Sdn Bhd (secara sendiri dan bersama-sama PT Bukit Mayak Asri dan PT Millenium Muda Makmur)  telah melakukan pelanggaran hak-hak pekerja migran dan praktek perdagangan orang.

Atas dasar dugaan itu, Migrant CARE Malaysia mendampingi para pekerja migran tersebut melaporkan kasus dugaan pelanggaran hak asasi pekerja migran dan praktik perdagangan orang yang dilakukan oleh IClean Services Sdn Bhd ke Majlis Anti Pemerdagangan Orang dan Anti Penyelundupan Migran (MAPO) pada tanggal 25 November 2019.

Atas dasar pelaporan tersebut, MAPO bersama Polisi Diraja Malaysia, Jabatan Imigresen Malaysia dan Jabatan Tenaga Kerja Semenanjung Malaysia melakukan tindakan merazia perusahaan IClean Sdn Bhd dan mengevakuasi 51 pekerja migran, mayoritas dari Indonesia (45 orang), Kamboja (3 orang) dan Filipina (3 orang). Para pekerja migran ini dibawa ke Rumah Perlindungan Malaysia. Dalam razia ini dilakukan penangkapan terhadap 2 orang staf perusahaan. Pada saat razia berlangsung, manajemen dan pemilik perusahaan tidak berada di tempat.

Dalam perkembangannya, sesuai dengan hasil penyelidikan Polisi Diraja Malaysia 7 Januari 2020 dinyatakan bahwa apa yang terjadi di perusahaan IClean Sdn Bhd belum/tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang. Seluruh pekerja migran yang dokumennya memenuhi syarat dipekerjakan kembali ke perusahaan, namun pada saat yang sama pihak Imigresen menahan 8 pekerja migran Indonesia yang dinyatakan tidak sah dan akan dideportasi. Selama menunggu proses deportasi, mereka ditahan di Tahanan Imigrasi Semenyih.

Dalam pandangan Migrant CARE, rentetan peristiwa tersebut memperlihatkan adanya kerentanan para pekerja migran yang diduga menjadi korban perdagangan manusia. Kerentanan itu antara lain dikriminalisasi dengan tuduhan melanggar keimigrasian. Mereka juga menghadapi diskriminasi hukum dan dijauhkan dari akses keadilan. Seharusnya Polisi Diraja Malaysia, selain memproses dugaan tindak pidana perdagangan orang, juga harus memproses dugaan pelanggaran hak-hak pekerja migran sebagaimana yang dialami oleh para pekerja perusahaan IClean Sdn Bhd.

Menurut catatan Migrant CARE, terjadi keadaan yang serupa di lokasi tempat IClean Service Sdn Bhd beroperasi. Pada tahun 2012, sebelum iClean berdiri, sebanyak 105 pekerja migran (95 orang dari Indonesia) menjadi korban kerja paksa oleh AP Sentosa Sdn Bhd. Korban kemudian dideportasi karena masuk ke Malaysia menggunakan Social Pass Permit. Namun dalam kasus ini, hanya karyawan perusahaan yang ditangkap, sedangkan pemilik dari AP Sentosa Sdn Bhd tidak diproses secara hukum. Sejak terkuaknya kasus tersebut di tahun 2012, AP Sentosa Sdn Bhd tidak lagi beroperasi. Melainkan, di lokasi yang sama, didirikan perusahaan dengan model bisnis yang serupa; AP Sands Sdn Bhd pada 30 Oktober 2012. Perusahaan baru ini memayungi Irainbow Cleaning Service Sdn Bhd (berdiri pada 30 Juni 2015), IClean Services Sdn Bhd (berdiri pada 18 Juli 2017) dan Sands Caregiver Sdn Bhd (berdiri pada 1 November 2017.)

Ini adalah bentuk impunitas (kejahatan tanpa penghukuman) para pelanggar hak pekerja migran dan tindak pidana perdagangan orang.  Individu yang terindikasi melakukan eksploitasi pekerja migran tidak dipertanggungjawabkan secara hukum. Melainkan dapat mendirikan perusahaan dengan model bisnis yang serupa (iClean Shd Bhd), di alamat bisnis yang sama. Dimana, salah satu anak perusahaan (iClean) diduga melakukan eksploitasi pekerja migran.

Penyelidikan atas terjadinya dugaan tindak pidana perdagangan orang juga harus menyeluruh, mendengarkan seluruh aduan korban dan menelusur hingga ke jejaringnya. Hingga saat ini belum ada penyelidikan mengenai keterlibatan perusahaan perekrutnya yang bisa meloloskan pekerja migran yang masih berusia 16 tahun.

Kriminalisasi korban ini mengulang peristiwa praktek perbudakan yang dialami para pekerja perusahaan Maxim Sdn Bhd yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Di Malaysia, pekerjanya dikriminalisasi dan dideportasi. Di Indonesia, perusahaan perekrutnya dibebaskan dari dakwaan melakukan tindak pidana perdagangan orang (“Perbudakan Di Kilang Walet”, Investigasi Majalah TEMPO, 20 Maret 2017).

Berulangnya kasus kriminalisasi korban pelanggaran hak pekerja migran dan perdagangan orang di Malaysia merupakan cerminan tidak adanya perkembangan yang signifikan dari upaya penghormatan hak-hak pekerja migran dan penghapusan perdagangan manusia. Ini juga menunjukkan keterbatasan dari peran perlindungan yang seharusnya diberikan oleh perwakilan Indonesia (dalam hal ini KBRI Kuala Lumpur) terhadap kerentanan para pekerja migran Indonesia di Malaysia. Tidak ada upaya yang signifikan untuk memberikan bantuan hukum kepada delapan pekerja migran Indonesia yang sekarang ini berada di Tahanan Imigrasi Semenyih.

Berkaitan hal tersebut di atas, Migrant CARE mendesak:

  1. KBRI Kuala Lumpur untuk memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional, sebagaimana merujuk Pasal 19 Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
  2. KBRI Kuala Lumpur untuk memfasilitasi pendampingan, mediasi, advokasi dan pemberian bantuan hukum dengan menyediakan jasa advokat, sebagaimana merujuk Pasal 21 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,
  3. Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur untuk melakukan verifikasi terhadap Perusahaan IClean Sdn Bhd serta memberikan sanksi jika perusahaan tersebut terbukti melakukan pelanggaran, sebagaimana merujuk Pasal 10 Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,
  4. KBRI Kuala Lumpur memberikan jaminan perlindungan terhadap hak atas upah delapan orang pekerja migran yang menjadi korban,
  5. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI untuk melakukan protes keras terhadap perlakuan pemerintahan Malaysia terhadap diskriminasi yang dilakukan kepada delapan pekerja migran Indonesia,
  6. Pemerintah Indonesia untuk melakukan evaluasi terhadap Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama penempatan pekerja migran Indonesia di Malaysia.

Jakarta, 21 Januari 2020

 

Narahubung:
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE (+62 8129307964)
Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi, Migrant CARE (+62 81578722874)
Alex Ong, Country Representative Migrant CARE di Kuala Lumpur (+60 196001728)
Nurharsono, Koordinator Bantuan Hukum Migrant CARE (+62 85714246404)

TERBARU