Pada Selasa, 3 Desember 2019, Pengadilan Negeri Tangerang membuat sejarah penting dalam penegakan hukum kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hakim Ketua Indra Cahya membacakan putusan perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang No. 1391/Pid.Sus/2019/PN Tng. Bahwa terdakwa Abdul Halim alias Erlangga dijatuhi vonis pidana penjara 11 tahun, denda Rp 200.000.000 subsider 3 bulan kurungan dan restitusi Rp 138.365.000 subsider 6 bulan kurungan. Hakim ketua juga menekankan bahwa restitusi tersebut harus dibayarkan ke EH atas kerugian baik materiil maupun immateriil yang ia alami. Jaksa akan memeriksa harta benda (seperti rumah), apabila ada maka rumah Abdul Halim disita.
Abdul Halim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang “Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)” Jo. Pasal 48 ayat (1) “Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi” Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”.
Dalam proses pemberangkatan, EH tidak mendapatkan pelatihan ketrampilan dan bahasa, tidak memiliki sertifikasi kompetensi kerja dan tidak melakukan medical check up. Keluarga EH tidak memiliki salinan dokumen kerja EH seperti paspor, visa kerja, perjanjian kerja dan perjanjian penempatan. Keluarga EH diberi uang fee (modus jeratan hutang) oleh sponsor Hayati sebesar Rp 5.000.000.
Sebelum diterbangkan ke luar negeri, EH ditampung sekitar 12 hari di Surabaya di penampungan milik Hasan. EH diberangkatkan pada sekitar Juni 2018, berpindah-pindah negara, agensi dan majikan, dengan rute : Tangerang – Surabaya – Malaysia – Dubai – Turki – Sudan – Suriah – Irak. Selama bekerja, EH tidak digaji.
Saat di Suriah, EH bekerja sekitar 3 bulan tanpa digaji. Ia pun kabur dan melapor ke KBRI Damaskus namun staf KBRI bernama Abdul Khaliq menjawab bahwa EH harus komitmen bekerja 2 tahun, jika menolak maka harus bayar USD 8.000. Parahnya, EH dikembalikan ke Agen Suriah bernama Fitri. Kemudian EH ditampung selama 1 bulan dan menerima berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan dari Fitri : dicaci-maki, digebuk, dipukul, ditelanjangin, dibuat tontonan untuk staf laki-laki.
EH dipindahkan, bekerja di Irak sekitar 3 bulan tanpa gaji. EH menjadi korban perkosaan sebanyak 3 kali yang dilakukan oleh anak majikan. EH yang menjadi korban berani melapor ke majikan, namun majikan tidak percaya dan melakukan kekerasan. EH didampingi teman PRT asal Filipina dan Seed Foundation membuat laporan ke kepolisian. Namun EH malah ditangkap dan dipenjara atas tuduhan pencurian yang dilaporkan majikan. EH yang hamil, mengalami keguguran selama di penjara.
EH dipulangkan ke Indonesia pada 22 Februari 2019, dijemput dan didampingi BNP2TKI, Kemenlu, Bareskrim Polri dan RPTC. Kepolisian RI kemudian memproses kasus ini dan menangkap Abdul Halim pada 23 Maret 2019. Persidangan mulai digelar pada 8 Agustus 2019 di PN Tangerang.
Setelah melalui proses persidangan selama kurang lebih 4 bulan dengan mendengarkan berbagai kesaksian, termasuk kesaksian dari saksi korban, saksi ahli dan terdakwa. Akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan vonis kepada Abdul Halim.
Atas dasar penjatuhan vonis tersebut, Migrant CARE menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengapresiasi Aparat Penegak Hukum, Polisi, Jaksa dan Hakim yang telah membongkar dan memproses hukum secara cepat dan menjatuhkan vonis yang berkeadilan bagi korban;
- Menjadikan vonis ini sebagai yurisprudensi dalam penegakan hukum kasus TPPO di Indonesia;
- Mendorong Kepolisian RI untuk segera menangkap Hayati, Hasan dan Fitri yang telah ditetapkan sebagai DPO dalam kasus yang sama;
- Mendorong Kementerian Luar Negeri RI untuk memberikan sanksi kepada Staf KBRI Damaskus a.n Abdul Kholiq atas pemberian layanan publik yang tidak berempati dan berpihak pada korban perempuan pekerja migran;
- Mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera mewujudkan mekanisne migrasi yang aman bagi perempuan agar terhindar dari kerentanan menjadi korban trafficking maupun pelanggaran HAM lainnya;
- Mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan dan memperluas mekanisme perlindungan pekerja migran seperti DESBUMI dan DESMIGRATIF sebagai bentuk pencegahan terhadap trafficking dari akar rumput;
- Mendorong Pemerintah Indonesia untuk membuat Bilateral Agreement dengan negara tujuan demi menjamin perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya;
- Mendorong Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan aturan turunan UU No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Jakarta, 5 Desember 2019
Anis Hidayah (Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE): +62 815-7872-2874
Nurharsono (Koordinator Div. Bantuan Hukum Migrant CARE): +62 857-1424-6404
Ika Masruroh (Staf Div. Bantuan Hukum Migrant CARE): +62 853-1322-7860
Fitri Lestari (Staf Div. Bantuan Hukum Migrant CARE): +62 856-2892-870