Kabar itu datang dari Mahkamah Tinggi Shah Alam Malaysia. Siti Aisyah, perempuan asal Serang Banten, dibebaskan dari tuduhan pembunuhan berencana terhadap Kim Jong Nam (kerabat Presiden Korea Utara Kim Jong Un) setelah jaksa penuntut umum mencabut dakwaan. Pembebasan dari dakwaan ini tentu saja membebaskan Siti Aisyah dari tuntutan maksimal hukuman mati berdasar Kanun Keseksaan Pasal 302 dan 304.
Kabar ini tentu menggembirakan dan menjadi energi baru bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak menggendorkan daya advokasi pembebasan hukuman mati yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia. Hingga saat ini tercatat ada sekitar 114 pekerja migran Indonesia di Malaysia dan 14 pekerja migran Indonesia di Saudi Arabia, nyawanya diujung tanduk karena mereka berada dalam daftar hukuman mati (death row). Dalam catatan kinerja 4 tahun pemerintahan Joko Widodo disebutkan telah berhasil membebaskan 334 pekerja migran dari hukuman mati. Namun demikian, angka itu tentu tidak bisa diperbandingkan jika ada satu nyawa pekerja migran yang dieksekusi.
Dalam sepuluh tahun terakhir, ada enam pekerja migran Indonesia dieksekusi mati tanpa notifikasi. Mereka adalah Yanti Iriyanti, Ruyati, Siti Zaenab, Karni, Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati. Semuanya adalah pekerja migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia. Dalam catatan Amnesty Internasional, Saudi Arabia adalah negara yang sangat rajin melakukan eksekusi mati.
Migrant CARE yang sejak awal memantau dan mendampingi kasus Siti Aisyah melihat dugaan adanya kriminalisasi dan viktimisasi Siti Aisyah yang terjebak dalam sindikat kejahatan transnasional. Berdasar hasil investigasi, diduga Siti Aisyah adalah korban human trafficking yang kemudian berada dalam kondisi yang tidak bebas ketika dipaksa melakukan perbuatan bersama rekannya dari Vietnam yang mengakibatkan kematian Kim Jong Nam. Argumentasi tersebut yang juga dipakai oleh pengacara Siti Aisyah untuk menggugurkan dakwaan pembunuhan berencana.
Pembebasan Siti Aisyah diduga bukan hanya dari proses peradilan tetapi juga dari proses diplomasi pembebasan hukuman mati yang dilakukan oleh para petinggi Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo. Jalan diplomasi ini semakin terang ketika perubahan politik berlangsung di Malaysia. Perubahan ini menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam pemajuan HAM di Malaysia, antara lain dengan penetapan kebijakan moratorium hukuman mati dan yang baru saja dilakukan adalah ratifikasi Statuta Roma (Pengakuan atas adanya juridiksi Mahkamah Pidana Internasional). Harus diakui langkah ini melampaui apa yang terjadi Indonesia.
Sebenarnya Siti Aisyah bukan penerima manfaat yang pertama dari kebijakan moratorium hukuman mati pemerintah Malaysia. Bulan Januari 2019 yang lalu, Malaysia juga membebaskan 2 warga negara Indonesia dari pidana mati karena kasus narkotika, mereka adalah Siti Nurhidayah dan Mattari. Seperti Siti Aisyah, keduanya juga dipulangkan ke tanah air telah lolos dari hukuman mati.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari kasus pembebasan Siti Aisyah? Bukan hal yang mudah untuk melakukan advokasi pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Selain terbentur dengan sistem hukum yang berbeda, keterbatasan akses informasi dan diplomasi, terkadang juga terhambat oleh sikap ketertutupan pemerintah setempat. Meskipun tata krama internasional mengharuskan adanya peradilan yang fair untuk kasus hukuman mati dengan penyediaan bantuan hukum, penerjemah dan layanan psikologis namun hal tersebut banyak diabaikan dengan dalih kedaulatan negara.
Dengan demikian, advokasi pemebebasan pekerja migran yang terancam hukuman mati tidak boleh tergantung pada proses hukum yang berlangsung, harus dikombinasikan pula dengan diplomasi mulai level diplomat, menteri hingga kepala negara (high level diplomacy). Presiden Gusdur dan Presiden Jokowi kerap melakukan high level diplomacy dan hasilnya signifikan, ada ratusan yang dibebaskan meskipun tetap saja ada 4 yang dieksekusi mati.
Namun demikian, Indonesia juga akan punya beban moral dan etis yang dilematis ketika melakukan advokasi pembebasan hukuman mati terhadap pekerja migran di luar negeri, ketika di dalam negeri masih menerapkan pidana hukuman mati dalam hukum positifnya. Harus ada keberanian untuk melakukan langkah mengakhiri praktek hukuman mati dan merumuskan peta jalan penghapusan hukuman mati di Indonesia, agar secara moral dan etis Indonesia memiliki legitimasi advokasi pembebasan hukuman mati warga negara Indonesia di luar negeri.
Artikel ini telah dipublikasi di laman Opini Jawa Pos, 12 Maret 2019