Tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai peringatan Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini merupakan hasil dari perjalanan panjang perjuangan perempuan di dunia dalam melawan beragam bentuk penindasan terhadap perempuan pekerja, meliputi upah dan jam kerja yang layak di era 1900-an. Sejak saat itu, Hari Perempuan Internasional terus dirayakan dengan berbagai cara untuk melawan kekerasan berbasis gender yang menyasar perempuan.
Tema yang diangkat Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun ini adalah “Think Equal, Build Smart, Innovate for Change”. Tema yang sangat relevan dengan situasi pekerja migran perempuan Indonesia yang penuh dengan kerentanan dan potret sektor marginal yang mencerminkan wajah ketimpangan.
Memikirkan, mengupayakan dan memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan pekerja migran Indonesia adalah hal yang mutlak untuk memastikan aturan turunan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tidak mengabaikan realitas wajah pekerja migran Indonesia yang mayoritasnya adalah perempuan.
Sebanyak 69 persen Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah perempuan (BNP2TKI, 2018), sebagian besar dari mereka bekerja di sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT). Namun perlindungan masih semu karena aturan turunan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) belum juga dirampungkan. Tenggat waktu aturan pelaksana ini sudah di depan mata, tetapi belum bisa dipastikan apakah betul-betul responsif gender karena draf belum juga dibuka.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang tak juga masuk Program Legislasi Nasional menjadi standar ganda, bagi Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap PRT Migran Indonesia di luar negeri. Situasi ini diperumit dengan Konvensi ILO No.189 mengenai kerja layak bagi pekerja rumah tangga saja tak kunjung diratifikasi.
Sejumlah 74 persen kasus yang didampingi Migrant CARE sepanjang tahun 2017-2018 adalah kasus pekerja migran perempuan dengan kategori kasus tertinggi, indikasi perdagangan orang. Tetapi pelaku, pelanggar hak asasi, penyiksa pekerja migran, masih dalam impunitas dan hukuman ringan, tidak pernah adil, minimal sebanding dengan yang dialami korban. Berbanding terbalik dengan ancaman penghukuman berat yang terus menghantui PMI di luar negeri. Menurut catatan Migrant CARE, 5 dari 6 PMI yang dieksekusi mati di Arab Saudi adalah pekerja migran perempuan. Belum genap setahun hukuman mati menimpa pekerja migran perempuan asal Majalengka, Tuti Turslawati, yang dihukum mati karena membela dirinya dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh sang majikan.
Daya upaya untuk melindungi perempuan pekerja migran Indonesia tentu tidak cukup dengan aturan turunan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Realitas ketimpangan yang terjadi, membuat perempuan terjauhkan dari akses sumberdaya, informasi, pengetahuan dan keadilan. Harus ada dorongan kebijakan dan langkah-langkah konkrit mendesak penyediaan akses sumberdaya, informasi dan pengetahuan yang memadai serta akses keadilan untuk perempuan pekerja migran Indonesia.
Mendekatkan Akses Pengetahuan, Mengembangkan Inovasi dan Teknologi yang Berpihak Pada Pekerja Migran
Dalam euphoria Revolusi Industri 4.0 yang sering dielu-elukan sebagai masa depan demografi ketenagakerjaan Indonesia seringkali abai dan melupakan kebutuhan angkatan kerja perempuan. Perbincangan tentang inovasi dan teknologi acapkali hanya menyasar pada kelompok-kelompok milenial perkotaan dan melupakan mereka yang terpinggirkan, termasuk perempuan pekerja migran. Jika ini terus berlangsung ketimpangan akan terus menganga. Dibutuhkan adanya keberpihakan yang jelas bahwa pengembangan inovasi dan teknologi harus mengutamaan mereka yang selama ini terpinggirkan.
Bagi perempuan pekerja migran, inovasi dan teknologi sangat dibutuhkan untuk memotong mata rantai keperantaraan manual yang selama ini membebani mereka dengan biaya yang tinggi. Inovasi dan teknologi bisa mendekatkan perempuan pada akses pengetahuan tentang kesadaran gender, perlindungan hak asasi, peningkatan ketrampilan dan kompetensi serta transaksi keuangan yang lebih mudah.
Di samping itu, Peringatan Hari Perempuan Internasional Tahun 2019 ini bertepatan dengan berlangsungnya kontestasi Pemilu 2019. Dalam penilaian Migrant CARE, Pemilu 2019 ini masih berwajah maskulin sehingga harus ada desakan yang kuat dari para pemilih agar peristiwa politik ini tidak melupakan aspirasi perempuan dan pekerja migran. Migrant CARE menyerukan pada perempuan dan pekerja migran agar pro aktif mendesak para kontestan untuk memiliki komitmen perlindungan perempuan dan pekerja migran Indonesia.
Jakarta, 8 Maret 2019
Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE