Jakarta, 27 Maret 2019 – Kurang dua pekan menuju pesta demokrasi, Migrant CARE menyelenggarakan agenda pertemuan publik “DIALEKTIKA, Dialog Caleg Meliputi Dapil DKI Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri: Merespons Agenda Perlindungan Pekerja Migran Indonesia”.
Dialog ini mengangkat tema agenda perlindungan dan kepentingan Pekerja Migran Indonesia yang sampai saat ini masih rentan atas kondisi kerja yang tidak layak, kekerasan dan minimnya akses kepada jaminan sosial maupun pelayanan dasar lainnya, yang direspons oleh lima Calon Anggota Legislatif (Caleg) untuk DPR-RI Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta II: Tsamara Amany (PSI), Christina Aryani (Golkar), Dian Islamiati Fatwa (PAN), Nuraini (PDIP), dan Arief Patramijaya (Hanura). Adapun panelis dalam dialog; Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, Ani Ema Susanti sebagai mantan pekerja migran yang saat ini aktif sebagai Sineas juga Content Creator di Ruangobrol.id, serta Hariyanto selaku Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Ketiga panelis sepakat mendorong agar kepentingan dan keterwakilan pekerja migran masuk dalam agenda perubahan yang akan dibawa masing-masing Caleg.
Sebagai pengingat, sebanyak 45 persen pemilih yang termasuk dalam wilayah Dapil DKI Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan luar negeri) merupakan pemilih di luar negeri yang mayoritasnya adalah pekerja migran Indonesia.
Wahyu Susilo, menyayangkan besarnya persentase pemilih di Dapil DKI Jakarta II yang tidak sebanding dengan ketercukupan informasi pemilih tentang mekanisme Pemilu dan juga agenda yang diusung oleh Caleg DPR-RI yang akan merepresentasi keterwakilan di parlemen masih jauh dari agenda perlindungan pekerja migran Indonesia.
Nuraini, Caleg Dapil 2 DKI Jakarta dari PDIP, mengungkapkan bawah pekerja migran menjadi penyumbang devisa terbesar, pekerja migran adalah teladan energi besarnya keluar dari kemiskinan. Partai politik saat ini belum bersahabat dengan isu pekerja migran. Indikasinya, lambannya respon Pemerintah dalam kasus-kasus kekerasan yang khususnya menyasar perempuan, hingga proses legislasi Undang-Undang yang sangat lama. Menurut Nuraini, perekrutan pekerja migran cenderung mengabaikan kemampuan dan mengarah pada praktik-praktik manipulasi.
Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sebagai panelis memberikan tanggapan, “Strategi jangka pendek atau langkah konkret untuk pekerja migran ketika nanti sudah duduk di DPR, haruslah jelas. Apakah itu koordinasi antara pusat-daerah atau penguatan bantuan hukum dan strategi konkret individu atau personal bisa menjadi ide fraksi dan institusi nantinya untuk kami tagih”. Berdasar pada Catahu SBMI tahun 2019, 69% pekerja migran perempuan yang terlanggar haknya dari total 1.927 kasus yang ditangani.
Bagi Tsamara Amany, sebagai Caleg termuda PSI mengatakan, “Isu perempuan pekerja migran akan diatasi melalui pendidikan”. Ia memaparkan juga dalam fakta yang ia terima, bahwa pekerja migran Indonesia banyak yang terkena overcharging. “Jika persoalan ada pada PJTKI, maka layak untuk dimoratorium dan dikaji ulang,” terang Tsamara. Ia juga mengingatkan Pemerintahan Presiden Jokowi telah mengenalkan Online Single Submission (OSB) yang baginya bisa diaplikasikan untuk kepentingan pengawasan tata kelola perlindungan pekerja migran. “Saya juga mengusulkan untuk membuat kwitansi penagihan untuk pekerja migran dalam memita pertanggungjawaban, dan tak kalah penting untuk pemilhan umum selanjutnya, pemisahan dapil luar negeri dan dapil jakarta II agar isu pekerja migran dikawal khusus dan menjadi agenda utama dalam satu dapil sendiri”.
Christina Aryani representasi dari Golkar beranggapan perlindungan pekerja migran masih jauh dari ideal. Namun, kita patut bersyukur punya UU no. 18 tahun 2017, meski aturan pelaksanaan baru tentang BPJS Ketenagakerjaan, dan masih ada aturan lainnya. Ia mengatakan juga bahwa DPR sebetulnya punya otoritas, yakni untuk pelaksanaan, pengawasan dan penganggaran. Hal yang akan ia maksimalkan untuk bisa mendorong agenda perlindungan pekerja migran. “Strategi utama saya ada di ketepatan dialog dengan KBRI dan KJRI untuk melakukan negosiasi dan memperpanjang agreement bilateral.” Christina juga mengingatkan, “Di Hongkong ada welcoming program untuk menjadi tempat hak atas informasi dari hak-hak pekerja migran. Perlu diduplikasi oleh negara penerima lainnya dan Indonesia harus mendorong ini.”
Wahyu Susilo, memberikan pertanyaan kepada seluruh caleg dengan mengangkat isu hukuman mati, “Migrant CARE sangat senang caleg punya perhatian ke pekerja migran. Satu yang perlu terus diawasi adalah praktik hukuman mati yang mengancam pekerja migran Indonesia. “Kita bahagia bulan lalu Siti Asiyah dibebaskan, melalui diplomasi dan upaya pembelaan hukum selain Malaysia sendiri yang sudah memoratorium hukuman mati”, pungkas Wahyu. Tetapi di dalam negeri, hukum kita masih mengafirmasi praktik hukuman mati. Menurutnya, hal ini menjadi situasi dilematis dalam politik domestik. Saat Indonesia mengadvokasi pembebasan pekerja migran yang terjerat hukuman mati, tapi belum sinkron dengan situasi di dalam negeri.
Arief Patramijaya dari Partai Hanura, menjawab pemetaan masalah pekerja migran sudah jelas bentuknya. Dari kekerasan fisik, klaim asuransi, gaji tak dibayarkan, hingga pembebanan biaya yang berlebihan. “Saat ini masih ada 188 WNI terancam hukuman mati, saya menolak hukuman mati”, jelas Arief. Baginya, jika ia terpilih menjadi salah satu anggota DPR-RI, memenuhi hak buruh migran dan keluarganya adalah tujuan yang tidak akan dikesampingkan. Arief juga fokus untuk pekerja migran dan keluarganya bisa tercabut dari akar kemiskinan, serta memiliki strategi untuk bisa menghadirkan pengacara yang sedia 24 jam untuk pekerja migran.
Ani Ema Susanti sebagai panelis, juga mempertanyakan ke ke-lima caleg, “Problem pekerja migran itu banyak sekali, terutama pekerja migran perempuan, yang pada awalnya terjadi karena tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan hukum yang bisa melindunginya”. Selain juga kemampuan inti sebagai ‘domestic helper’ juga soft-skill seperti literasi sehingga pekerja migran rentan terkena rekrut online melalui sosial media untuk kemudian melakukan radikalisme. Di sisi lain masih adanya pekerja migran yang menjadi korban eksploitasi seksual dan komersil anak. Ani juga menekankan rencana strategis yang akan dilakukan terkait perempuan pekerja migran dengan terorisme, serta isu eksploitasi seksual yang masih dilakukan.
Menanggapi isu radikalisme dan hukuman mati, Tsamara Amany menegaskan perlunya dibentuk organisasi serikat buruh di negara penempatan dan harus diperbanyak karena organisasi ini bisa dipantau pemahaman mereka dalam ekstremisme dan radikalisme. Terkait isu hukuman mati, Tsamara menyatakan, “untuk hukuman mati di Indonesia, harus segera dihapuskan agar Indonesia tak memiliki standar ganda”.
Jawaban Tsamara memantik tanggapan Dian Islamiati Fatwa dari Partai Amanat Nasional yang menyampaikan pentingnya pengawasan pekerja migran dari hulu sampai hilir, dari berangkat sampai ditempatkan dan kembali ke tanah air. Menurutnya masih belum ada ada pilihan informasi yang cukup tersedia di tiap-tiap Provinsi. Negara perlu hadir untuk menyediakan informasi terpadu. Merespons isu radikalisme, menurut Dian perlu ada tambahan kurikulum dalam pelatihan atau dalam Balai Latihan Kerja (BLK).
–
Narahubung
Wahyu Susilo (08129307964)
Zulyani Evi (082141242586)
Panelis #DIALEKTIKA (dari kiri ke kanan): Ani Ema Susanti (Sineas, mantan pekerja migran), Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE), dan Hariyanto (Ketua SBMI)