Menjelang peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2018, kasus eksekusi mati Tuti Tursilawati menjadi sorotan publik. Tuti Tursilawati adalah salah satu potret bagaimana pekerja migran sektor domestik menjadi korban kekerasan seksual, bahkan saat ia melakukan pembelaan diri atas martabatnya sebagai perempuan. Ia dikriminalisasi hingga dieksekusi mati tanpa notifikasi resmi kepada Pemerintah Indonesia. Tuti Tursilawati adalah satu dari enam Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dieksekusi mati oleh Pemerintah Arab Saudi sepanjang tahun 2010-2018. Berdasarkan pendokumentasian Migrant CARE, sebanyak 72 persen pekerja migran yang menghadapi ancaman hukuman mati adalah pekerja migran perempuan.
Data Statistik Penempatan BNP2TKI pada rentang tahun 2011-2018 menunjukkan jumlah pekerja migran asal Indonesia masih didominasi oleh perempuan (60 persen). Tingginya arus migrasi pekerja migran perempuan, diiringi dengan tingginya kasus yang menimpa pekerja migran perempuan. Pada tahun 2017, sebanyak 84 persen kasus yang diterima Migrant CARE adalah kasus pekerja migran perempuan. Hal ini semakin menegaskan bahwa pekerja migran perempuan rentan menjadi objek eksploitasi dan mengalami kekerasan seksual dalam situasi kerja dan migrasi yang tidak aman.
Sejak dari tahap sebelum bekerja, selama bekerja sampai setelah bekerja, pekerja migran perempuan tidak lepas dari kerentanan kekerasan seksual. Berdasarkan pengalaman korban, saat berada di penampungan pekerja migran perempuan kerap kali mengalami kekerasan seksual baik fisik maupun verbal. Selama bekerja di negara tujuan, kerentanan itu tak bisa dihindari khususnya oleh pekerja di sektor domestik. Seperti halnya Tuti Tursilawati yang mengalami kekerasan seksual oleh salah seorang keluarga majikan. Situasi setelah bekerja, pekerja migran perempuan rentan mendapatkan kekerasan yang bahkan dilakukan oleh keluarganya sendiri karena kegagalan bekerja di negara penempatan.
Pengesahan Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) belum menyentuh kerentanan pekerja migran perempuan, khususnya dalam kasus kekerasan seksual. Maka dari itu, Migrant CARE mendesak disahkannya RUU P-KS sebagai upaya untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) Pemerintah Indonesia. Bahwa pemerintah Indonesia tidak hanya melindungi warga negara Indonesia namun juga warga negara asing yang menjadi korban kekerasan di wilayah Republik Indonesia.
Atas situasi tersebut, dalam peringatan 16 HAKTP 2018, Migrant CARE mendesak Pemerintah Indonesia untuk:
- Segera sahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
- Segera ratifikasi Konvensi ILO No. 189/2011 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga
- Menuntut pemerintah untuk segera Menyusun Peraturan Pelaksana UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang berprinsip pada Penghormatan dan Pemenuhan Hak-hak Pekerja Migran dengan mekanisme yang terbuka, transparan dan melibatkan masyarakat secara penuh
- Menuntut pemerintah untuk membuat kerjasama atau perjanjian bilateral maupun multilateral dalam perlindungan pekerja migran dengan negara-negara penempatan pekerja migran Indonesia
- Menuntaskan penyelesaian kasus-kasus pekerja migran Indonesia mengenai kekerasan yang dialami PRT Migran, perdagangan manusia (utamanya perempuan dan anak), pekerja migran tak berdokumen, pekerja migran yang bekerja di sektor kelautan, pekerja migran yang terjebak dalam sindikat kejahatan transnasional serta pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati
Jakarta, 8 Desember 2018
Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE) : 08129307964
Anis Hidayah (Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant CARE) : 081578722874