Rabu, 10 April 2018, jam 19.03 WIB Kapal Gembira 3 melabuh di Dermaga Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang. Kapal ini selain membawa penumpang reguler juga membawa 128 orang buruh migran korban deportasi dari Malaysia. Mereka turun kapal pada giliran terakhir setelah penumpang umum turun.
Dalam remang malam yang hanya diterangi lampu pelabuhan yang tidak gemerlap, satu per satu korban deportasi menuruni kapal dan berjalan menuju imigrasi. Beberapa petugas dari RPTC Tanjung Pinang sudah siaga di luar dan memberikan pengarahan. Mereka turun secara berkelompok, 10 orang per kelompok. Yang membawa bayi turun terlebih dahulu ya, ujar petugas. Lalu tiga orang ibu yang menggendong buah hatinya berada di barisan paling depan. Dua bayi yang digendong nampak tertidur pulas, tapi seorang bayi kelihatan menggerakkan kakinya, masih agak merah.
Begitu keluar kapal, petugas menyambut dengan name tag yang bertuliskan “korban deportasi” yang dikalungkan satu-satu. Saat menapaki pelabuhan menuju imigrasi, lampu mulai terang menyorot. Saat itu mulai kelihatan, betapa kurus-kurusnya mereka, kucel, tertekan menahan penderitaan, “akhirnya neraka itu berakhir” seloroh salah seorang deportan yang menyebut camp imigrasi di Malaysia sebagai neraka. Rata-rata mereka sudah 7 bulan berada di camp imigrasi. Malam itu mereka dideportasi dari Pasir Gudang Johor Bahru setelah ditahan di Lengging.
Antrian panjang menuju imigrasi hingga berbuntut ke pintu masuk dari kapal. Mereka terus berbincang, mayoritas berkaos oblong yang sudah sangat kumal dan celana pendek, sebagian juga bersarung. Esoknya saya baru tahu kenapa sebagian diantara mereka bersarung, ternyata mereka tidak bisa pake celana karena alat kelaminnya rusak, penuh luka setelah mengalami gatal-gatal selama 7 bulan di penjara. Sebagian besar mengalami gatal karena airnya tidak bersih, baju yang hanya sehelai. Kalau kaus dicuci, maka hanya pake celana. Jika celana dicuci, kaus yang dijadikan celana. Itupun dipakainya dalam keadaan memal masih setengah basah setelah dicuci sembari mandi. Dicuci tanpa sabun karena tidak ada alat kelengkapan mandi di dalamnya. Hanya mereka yang dijenguk oleh keluarga dan dibawakan sabun serta peralatan mandi lainnya yang bisa gunakan sabun untuk mandi.
Aku dekati ibu-ibu yang menggendong bayi. Dua bayi yang sedang tidur pulas berumur 7 bulan, ibunya dan mereka ditangkap saat lagi makan di kedai. Saat itu bayi mereka berumur 4 bulan, dan kini berusia 7 bulan karena 3 bulan di penjara. Sementara bayi yang masih merah itu baru berusia 2 bulan seminggu. Seminggu setelah ibunya melahirkan di rumah sakit, petugas imigrasi datang dan menangkapnya karena ibunya tidak berdokumen. Bahkan bapaknya juga belum pernah bertemu bayinya karena tidak berani menjenguk di rumah sakit takut tertangkap karena tidak memiliki dokumen. Hingga bayinya dideportasi ke Tanjung Pinang, bapaknya juga belum pernah lihat karena tidak berani menjenguk di penjara. Mungkin petugas imigrasi yang menangkap seorang ibu dan bayinya itu sudah lupa kalau dia juga lahir dari rahim sang ibu.
Saat menunggu pemeriksaan imigrasi, seorang lagi bayi yang lain nempel di dada ibunya, sedang menyusu. Petugas bertanya: “lagi menyusui ya? Bisa masuk ke ruangan dulu”. Lalu bayi itu dilepas dari susu ibunya sembari bergegas ke sebuah ruangan yang ditunjuk petugas. Saat itu air asinya menetes di lantai dekat imigrasi pelabuhan Tanjung Pinang. Saya ingat Orien & Sakwa (kedua anak perempuan saya) dan almarhumah ibu saya dengan mata berkaca-kaca.
Tanjung Pinang, 12 April 2018
Anis Hidayah