21 December 2024 23:52
Search
Close this search box.

Dalam Perangkap Sindikat Kejahatan Lintas Negara

Dalam Perangkap Sindikat Kejahatan Lintas Negara

WAHYU SUSILO
Harian Kompas, 12 Juli 2017

Pada 28 Juni 2017, Pemerintah Amerika Serikat, melalui kementerian luar negeri, meluncurkan laporan tahunan mengenai situasi perdagangan manusia sedunia, Trafficking in Person Report 2017.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, laporan ini memuat isu-isu krusial terbaru mengenai perdagangan manusia di berbagai belahan bumi ini, penilaian kinerja dan pemeringkatan negara-negara terkait upaya memerangi perdagangan manusia (Tier List System), dan penghargaan terhadap individu-individu yang dinilai berjasa dalam upaya memerangi perdagangan manusia.

Menurut laporan ini, posisi Indonesia tetap berada di Tier 2, dengan demikian selama lebih dari satu dekade posisi ini tidak pernah berubah. Walau telah sepuluh tahun Indonesia memiliki instrumen hukum antiperdagangan manusia (UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang), itu dianggap belum memiliki dampak signifikan untuk upaya memerangi dan pencegahan tindak pidana perdagangan manusia.

UU ini hanya mampu menyelamatkan Indonesia dari perangkap Tier 3 (posisi terburuk kinerja pemberantasan dan pencegahan terhadap perdagangan manusia yang pernah ditempati Indonesia dalam pemeringkatan ini), tetapi belum mampu secara signifikan menyelamatkan warga negara Indonesia (terutama perempuan dan anak) dari salah satu praktik kejahatan lintas negara terorganisasi ini.

Dalam uraian tentang Indonesia pada laporan tahun 2017 ini, ada beberapa perhatian khusus mengenai tingginya angka perdagangan manusia dalam praktik pengiriman buruh migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dan situasi buruk yang dialami oleh para pekerja yang berada dalam situasi perbudakan di industri perikanan. Ironisnya, berdasar temuan Migrant Care yang melakukan kajian dan pendampingan buruh migran di NTT, praktik perdagangan manusia terhadap perempuan NTT membonceng skema penempatan buruh migran legal/resmi yang selama ini dianggap sebagai cara aman bermigrasi. Ironi lain adalah tingginya angka perbudakan pekerja di industri perikanan seiring semangat pemerintahan Jokowi menggenjot ekonomi maritim. Ini tentu menjadi tantangan yang harus dijawab segera.

Yang luput dari perhatian laporan ini adalah makin meningkatnya praktik penjeratan korban perdagangan manusia untuk dipaksa atau diperdaya menjadi pelaku untuk kejahatan lintas negara lainnya, misalnya sebagai pelaku lapangan kejahatan spionase, terorisme, dan perdagangan ilegal narkotika.

Masih ingat kasus Siti Aisyah? Perempuan muda asal Serang, Banten, ini nyawanya berada di ujung tanduk ketika jaksa penuntut umum Malaysia mendakwanya dengan kanun keseksaan dengan ancaman hukuman mati. Dia didakwa bersama perempuan Vietnam melakukan pembunuhan terhadap Kim Jong Nam yang masih memiliki hubungan saudara dengan Kim Jong Un, Pemimpin Korea Utara.

Skandal pembunuhan yang diduga memiliki keterkaitan politik tingkat tinggi dan melibatkan aktivitas spionase itu kini hanya menyisakan dua perempuan Asia ini sebagai tumbal kejahatan politik tingkat tinggi yang tak mungkin hanya diinisiasi oleh mereka berdua. Atas nama perbaikan hubungan diplomasi Malaysia–Korea Utara, tak ada penyelidikan tuntas yang mengarah pada otak pelaku kejahatan ini. Siti Aisyah dan teman perempuannyalah yang dikriminalisasi.

Kejahatan lintas negara terorganisasi lainnya, seperti sindikat perdagangan narkotika, juga kerap menumbalkan korban-korban perdagangan perempuan sebagai kurir narkotika. Menurut hasil pemonitoran Migrant Care terhadap kasus-kasus pekerja rumah tangga (PRT) migran, yang terancam hukuman mati/hukuman berat karena narkotika adalah mereka yang memiliki riwayat bermigrasi sebagai PRT migran dan terperangkap dalam sindikat perdagangan perempuan.

Pencegahan dan perlindungan

Jika menelisik lebih dalam, pada kasus Mary Jane (PRT migran Filipina yang dipidana mati di Indonesia), Rita Krisdianti (PRT migran Indonesia yang divonis mati di Malaysia), dan Dwi Wulandari (PRT migran Indonesia yang divonis hukuman seumur hidup di Filipina) mengonfirmasi bahwa mereka adalah korban sindikat kejahatan lintas negara berganda: perdagangan manusia dan narkotika. Kriminalisasi terhadap korban yang berposisi sebagai kurir malah berpotensi memutus penyelidikan lebih dalam mengenai mata rantai sindikat perdagangan narkotika lintas negara.

Temuan terbaru dari organisasi-organisasi yang bekerja untuk deradikalisasi dan pencegahan terorisme tak kalah mengejutkan. Dengan iming-iming sejumlah uang dan janji surga, telah berlangsung perekrutan terhadap beberapa perempuan Indonesia yang bekerja dan mengalami masalah di luar negeri untuk menjadi kombatan di wilayah konflik bersenjata dan ada sebagian di antaranya merelakan diri menjadi ”akun rekening pencucian uang” untuk transaksi pendanaan kegiatan terorisme.

Meski secara kuantitas mereka yang terperangkap dalam tindakan berbahaya ini kecil, tetap harus menjadi perhatian penting bagi Pemerintah Indonesia mencegah pembesaran dan perluasan aktivitas ini.

Sebenarnya dalam kerangka implementasi Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No 5/2009, upaya pencegahan dan perlindungan warga negara Indonesia dan negara Indonesia dari tindak pidana kejahatan lintas negara bisa dilakukan secara komprehensif dan tetap dalam kerangka penegakan hak asasi manusia (HAM). Instrumen ini memperkuat UU No 21/2007 yang selama ini hanya dipahami secara parsial sebagai satu-satunya payung legal pencegahan tindak pidana perdagangan manusia.

Konvensi ini bisa menjadi instrumen human security (keamanan manusia) mencegah warga negara Indonesia menjadi korban perdagangan manusia, narkotika, pidana pencucian uang, dan terorisme. Konvensi ini juga mampu mencegah upaya kriminalisasi terhadap korban yang terperangkap dalam sindikat kejahatan lintas negara. Di sisi lain, konvensi ini juga bisa menjadi salah satu komponen pokok national security (keamanan nasional mencakup teritori, kedaulatan politik, dan ekonomi) dari ancaman kejahatan lintas negara, seperti terorisme, keutuhan teritori dan penyelundupan, serta penyerobotan sumber daya ekonomi dan maritim.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/07/12/Dalam-PerangkapSindikat-Kejahatan-Lintas-Negara

TERBARU