Pada hari Rabu tanggal 26 Oktober 2016, Migrant CARE melakukan audiensi dengan Kementrian Luar Negeri RI dalam rangka menyikapi hasil temuan survey paska moratorium. Ada dua hal yang disampaikan Migrant CARE selama audiensi, pertama survey paska moratorium dan kedua akses komunikasi.
Pertama, selama dua tahun survey yang dilakukan, Migrant CARE mendata 1021 calon pekerja rumah tangga migran baru (PRT migran) dan 1772 PRT migran re-entry (bekerja kembali setelah cuti. Negara yang sering dikunjungi ialah Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Kuwait, dan Qatar. Paska moratorium atau penghentian pengiriman ke Timur Tengah, calon PRT migran menggunakan banyak modus untuk bepergian, antara lain menggunakan visa ziarah, visa turis, umroh, transit, bekerja formal, menyamarkan penampilan, mengunjungi saudara, dan berbohong tujuan negara dan jenis pekerjaan. Situasi ini menggambarkan betapa longgarnya pengawasan dari Negara.
Persoalan kedua ialah akses komunikasi, hal krusial bagi buruh migran yang tinggal jauh dari keluarga. Banyak keluarga buruh migran di desa yang menyampaikan kasus hilang kontak dengan keluarganya yang bekerja di Timur Tengah. Migrant CARE bersama Shelter Me melakukan program inisiatif Telephone Tree (Teltree), yaitu program SMS untuk menjangkau situasi PRT migran di Timur Tengah. Selama menjalani program ini juga mengalami banyak kendala seperti provider SMS yang dibangun tidak dapat menembus keamanan negara dan majikan masih menahan telepon seluler (HP) buruh migran karena beberapa diangkat oleh majikan. Respon lain ialah buruh migran minta dikeluarkan dari grup disebabkan majikan yang kurang menyukai mereka menggunakan HP.
Dua persoalan di atas direspon baik dengan Ibu Gita sebagai Kepala Subdit Kemenlu RI. Beliau menceritakan pengalamannya selama bekerja di KBRI Korea. Berkaitan dengan program Teltree, ia juga sempat menginisiasi program Family Tree, dengan tujuan memetakan orang-orang yang memiliki kepedulian untuk satu isu yang sama. Mereka tidak harus berafiliasi dalam organisasi, tetapi mereka memiliki perhatian yang extra mild untuk membantu suatu masalah. Inisiatif ini memudahkan beliau menjangkau warga negara indonesia dimana Korea mengalami bencana gempa ketika itu.
Permasalahan PAP juga sempat disinggung dalam pembicaraan Ibu Gita. Menurutnya, Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) ialah titik awal permasalahan migrasi, dimana semestinya menjadi perhatian utama di dalam negeri. Jika masalah di dalam negeri teratasi, maka penyelesaian masalah diluar negeri semakin mudah. Beberapa inisiatif untuk pemberantasan perdagangan manusia dilakukan Kemenlu dan 6 institusi negara, antara lain Kejaksaan sebagai penututan, Bareskrim sebagai penyelidikan, Kementrian Sosial untuk reintegrasi dan rehabilitasi pada korban, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai upaya perlindungan anak, dan BNP2TKI, serta Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia untuk pengawasan di tingkat keimigrasian. Ibu Gita melihat bahwa perdagangan manusia di dalam negeri ialah persoalan yang sangat serius.
Kedepannya, Kemenlu RI akan mengundang Kementrian Perhubungan khususnya area laut dan udara, untuk menghadiri pertemuan tentang pemberantasan perdagangan manusia. Fenomena yang kerapkali terjadi ialah migrasi dilakukan tidak hanya melalui bandara, tetapi juga pelabuhan-pelabuhan di daerah.