Menyikapi Penyanderaan terhadap 10 ABK di Filipina

Siaran Pers Migrant CARE

Menyikapi Penyanderaan terhadap 10 ABK di Filipina

Mendesak Pemerintah Indonesia untuk Segera Melakukan Langkah-Langkah Strategis untuk Membebaskan 10 ABK dari Sandera dan Melakukan Upaya Perlindungan Jangka Panjang terhadap ABK

Kabar duka kembali menghampiri buruh migran, 10 ABK (Anak Buah Kapal) di sadera oleh kelompok Abu Sayaff di perairan Philipina,  10 ABK merupakan krue di Kapal Tunda Brahma 12 dan Kapal Tongkang Anand 12. Beberapa sumber menyatakan ke- 10 ABK yang ditangkap pada hari Sabtu, 26 Maret oleh para teroris yang diduga berkewarganegaraan Indonesia. Kelompok Abu Sayyaf meminta tebusan uang 50 juta peso atau setara Rp. 14,3 Miliar kepada pemilik kapal dan perusahaan atas sadera 10 ABK dan 7 ribu ton Batubara.

ABK semestinya merupakan bagian dari buruh migran yang bekerja di luar negeri. Namun UU No 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI tidak mengakomodasi ABK sebagai bagian dari buruh migran yang dilindungi di bawah UU tersebut. Kekosongan hukum tersebut, memposisikan ABK pada situasi rentan baik pada kondisi kerja yang tidak layak maupun tidak adanya jaminan keselamatan dari ancaman bajak laut atau perompak di wilayah konflik.

Pada tahun 2011 lalu, tepatnya tanggal 16 Maret  2011,  20 ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal MV Sinar Kudus juga dibajak oleh para perompak Somalia di perairan Teluk Aden. Mereka di sadera hingga 45 hari, akhirnya mereka berhasil dibebaskan pada tanggal 1 Mei 2011.

Dalam catatan Migrant CARE, sejak tahun 2012-2015 telah menangani hampir 500 kasus ABK. Jumlah tersebut terus meningakat setiap tahunnya. Para ABK tersebut banyak dipekerjakan di sepanjang  perairan laut China, Amerika latin, Afrika dan Rusia. Para ABK ini sangat rentan mengalami eksploitasi, upah murah, kekerasan dan perbudakan diatas kapal. Kondisi yang paling rentan dialami oleh mereka yang bekerja di kapal ikan. Hingga kini ABK tidak pernah mendapatkan kepastian jaminan keselamatan.

Saat ini Migrant CARE juga tengah menangani 24 kasus ABK yang mengalami kekerasan selama di kapal. Mereka bekerja di kapal yang berbendera China yang beroperasi secara ilegal, sehingga ditangkap oleh kepolisian setempat. Keseluruhan ABK terlantar dan akhirnya dipulangkan tanpa gaji. Satu diantara 24 orang tersebut mengalami sakit yang serius karena terpaksa meminum cairan kimia yang berakibat lambungnya harus diangkat di Taiwan dan saat ini tengah melanjutkan perawatan medis di Indonesia.

Berdasarkan data dari ILO, pada tahun 2015 ada sekitar 210.000 Anak Buah Kapal dari Indonesia yang bekerja dikapal asing, dari total tersebut 50% adalah ABK yang tidak terdaftar di pemerintah Indonesia. Data tersebut bisa lebih banyak kalau dihitung dengan ABK Penangkap Ikan yang selama ini tidak ada kepastian siapa dan dimana harus mendaftar. Hal ini tentunya akan sangat rawan karena menjadi anak buah kapal dengan bekerja dikapal asing menjadi salah satu pilihan mengingat upah yang sangat besar. Sebagai perbandingan saat ini upah ABK penangkap ikan dikapal berbendera asing kurang lebih USD 500 – 600, hal ini tentunya sangat jauh jika mereka bekerja dikapal berbendera Indonesia.

Data dalam Global Slavery Index (Index Perbudakan Modern) 2014 yang direlease oleh Walk Free menunjukkan bahwa 714,300 orang warga negara Indonesia mengalami perbudakan modern baik di dalam dan di luar negeri. Mayoritas kelompok pekerja yang mengalami perbudakan tersebut adalah pekerja rumah tangga dan ABK.

Migrant CARE mengapresiasi langkah cepat yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian luar negeri serta kementrian terkait yang terus berkoordinasi untuk pembebasan ke-10 ABK yang disadera di perairan Philipina. Namun langkah itu saja tentu tidak cukup. Migrant CARE mendesak pemerintah Indonesia untuk segera:

  1. Mengambil langkah koordinatif dan strategis untuk segera membebaskan 10 ABK Indonesia yang disadera di perairan Philipina dan memastikan seluruh haknya terpenuhi.
  2. Memastikan ABK merupakan salah satu sektor yang akan dilindungi oleh UU melalui revisi UU 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI
  3. Meratifikasi konvensi MLC ILO 2006 tentang Perlindungan ABK secara umum dan Konvensi ILO 188 2007 tentang perlindungan bagi pekerja di kapal ikan (Work in Fishing)
  4. Melakukan evaluasi secara komprehensif mengenai tata kelola pengiriman ABK ke luar negeri, baik kinerja kementrian terkait (Kementrian Perikanan dan Kelautan, Kementrian Perhubungan, BNP2TKI) serta perusahaan-perusahaan swasta yang merekrut dan mengirimkan ABK ke luar negeri.

Jakarta, 29 Maret 2016

Anis Hidayah
Direktur Eksekutif

Musliha
Koord. Div Bantuan Hukum

TERBARU