17 April 2024 02:07
Search
Close this search box.

Menyikapi RUU PPILN Hak Inisiatif DPR RI dan DIM Pemerintah

Siaran Pers Migrant CARE

Menyikapi RUU PPILN Hak Inisiatif DPR RI dan DIM Pemerintah Dalam Perspektif Perlindungan Buruh Migran Indonesia

Pemerintah Indonesia Mengabaikan Prinsip-Prinsip Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Dalam Daftar Inventarisasi Masalah RUU Perlindungan Pekerja Indonesia Di Luar Negeri

Pada tanggal 26 Januari 2016, di sidang Paripurna DPR-RI, RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri telah disahkan sebagai prioritas legislasi yang harus segera diselesaikan. Dan sebelumnya pada tanggal 10 Desember 2015, Presiden Jokowi pun juga telah mengeluarkan Amanat Presiden Nomor : R.72/Pres/12/2015 tertanggal 10 Desember 2015 dengan menunjuk wakil-wakil pemerintah Indonesia dalam pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagai pengganti UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Amanat Presiden tersebut memberikan mandat kepada enam (6) Kementerian yaitu, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Hukum dan HAM, untuk memberikan tanggapan atas RUU PPILN tersebut dalam bentuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Untuk diketahui, DIM dari pemerintah telah diserahkan kepada Panitia Kerja (Panja) RUU PPILN pada tanggal 19 Januari 2016 pada forum rapat di Komisi IX DPR RI bersama enam Kementerian terkait.

Sementara itu, tepatnya pada tanggal 12 April 2012, DPR-RI telah mengesahkan ratifikasi Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Dan ratifikasi tersebut diundangkan melalui UU No. 6 Tahun 2012 mengenai Ratifikasi Konvensi Internasional tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota keluarganya.

Proses tersebut sebenarnya, secara formal, telah menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hak-hak buruh migran Indonesia secara paripurna. Konvensi tersebut membangun standar HAM yang menjamin perlindungan buruh migran terkait hak sipil dan politik, hak-hak ekonomis, sosial dan budaya. Selain itu Konvensi ini juga mendorong agar negara pengirim dan penerima buruh migran untuk menyelaraskan seluruh legislasi nasional untuk melindungi hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, baik yang berdokumen maupun yang tidak berdokumen, dengan memegang prinsip non diskriminasi dan mencegah praktek-praktek eksploitasi.

Setelah RUU PPILN masuk agenda prioritas Prolegnas 2016, Komisi IX DPR RI membentuk Panitia Kerja (PANJA RUU PPILN). Panja ini mempunyai tugas melakukan konsinyering pembahasan terhadap RUU PPILN maupun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dibuat oleh pemerintah (dengan leading sektornya Kementerian Ketenagakerjaan).

Jika ditelaah secara kritis dan lebih dalam substansi RUU PPILN maupun DIM usulan dari pemerintah keduanya belum mengakomodir prinsip-prinsip fundamental yang terkandung dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Alih-alih ada penyelerasan terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi, DIM Pemerintah justeru mengabaikan konvensi. Tidak banyak substansi konvensi yang terkandung di dalam DIM tersebut.

Usulan paling menonjol adalah dihapuskannya BNP2TKI sebagai upaya short cut mengatasi dualisme kelembagaan migrasi, tetapi disisi yang lain tetap mempertahankan peran PPTKIS sebagai pihak yang selama ini terbukti melakukan eksploitasi terhadap buruh migran dengan mengambil keuntungan secara brutal dalam proses migrasi. Problem kelembagaan migrasi memang harus dituntaskan, tetapi inisiatif mempertahankan peran korporasi sama artinya dengan mengamini pelanggengan komersialisasi pelayanan publik bagi warga negara.

Dalam pembacaan kritis terhadap draft RUU PPILN dan DIM usulan pemerintah, Migrant CARE menemukan beberapa catatan krusial dari materi-materi yang berasal dari kedua bahan tersebut yang berpotensi terjadinya pelanggaran hak-hak buruh migran. Catatan krusial tersebut antara lain :

  1. Dalam ketentuan umum pasal 1 disebutkan: calon pekerja Indonesia, namun tidak diatur ketentuan calon majikan, hal ini mempertegas pengaturan bahwa buruh migran sebagai obyek dan bukan subyek.
  2. PPPILN sebagai gantinya PPTKIS, yang mengatur tentang bisnis yang melanggengkan industrialisasi penempatan buruh migran
  3. Mitra Usaha atau Agen, adalah yang selama ini bersama PPTKIS yang berkontribusi terjadinya ekploitasi buruh migran
  4. Perjanjian Kerja sama Penempatan, adalah perjanjian antara PPTKIS dan Agen negera tujuan yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah dalam hal ini KBRI dan berkontribusi terhadap jual beli job order
  5. PAP, KPILN, selama ini sebagai alat untuk memperpanjang birokrasi dan bukan instrument perlindungan
  6. Masih mencantumkan adanya perekrutan, hal ini akan berpotensi terjadinya penyekapan dan stok manusia
  7. Masih adanya pengabaian hak-hak berserikat buruh migran sebagai hak fundamental buruh migran. Alih-alih mengakui hak buruh migran untuk berorganisasi dan berserikat, dalam DIM yang disusun pemerintah dinyatakan tidak perlu ada ketentuan yang menegaskan kebebasan bagi buruh migran untuk berorganisasi dan berserikat.

Atas dasar pembacaan kritis tersebut dan melihat urgensi revisi UU No. 39 Tahun 2004 (RUU PPILN) dalam Prolegnas 2016 dan mengingatkan kembali komitmen Presiden Jokowi yang ada dalam visi-misi Nawacita Presiden Jokowi untuk “Menghadirkan Negara dengan Melindungi Hak dan Keselamatan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri Khususnya Pekerja Migran”, Migrant CARE menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Perubahan dalam revisi UU No. 39 tahun 2004 harus menyelaraskan seluruh prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No. 6 tahun 2012 tentang UU Ratifikasi Konvensi Internasional Tahun 1990 mengenai Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sebagai pedoman utama.
  2. Memastikan dan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah (mulai dari tingkat Desa/Kelurahan sampai kabupaten/kota) dalam proses pra pemberangkatan mulia dari pemberian informasi, pendidikan dan pelatihan, medical chek, imigrasi maupun pemberangkatannya.
  3. Memastikan adanya pasal yang mensyaratkan mitra kerja pemerintah Indonesia dan pemerintah negara tujuan yang dituangkan dalam bilateral agreemen (G to G), calon majikan terdaftar dipemerintah negara tujuan, perlindungan hak-hak buruh migran (termasuk hak berorganisasi dan berserikat bagi buruh migran), jaminan sosial, dan akses terhadap bantuan hukum.
  4. Menghapuskan pasal-pasal yang berpotensial melanggar hak-hak buruh migran di dalam RUU PPILN yang seperti, PAP, KTKLN dan Perjanjian Penempatan

Jakarta, 9 Februari 2016

Anis Hidayah 
Direktur Eksekutif Migrant CARE

Wahyu Susilo
Analis Kebijakan Migrant CARE

TERBARU